5 - Fog

29 6 25
                                    

Suri, andai kamu di sini, pasti akan senang sekali. Kabut pekat sedang memayungi desa ini. Rasanya dingin, sampai membuatku menggigil. Hawa yang enak sekali untuk meringkuk di bawah selimut dan menonton anime. Nyatanya, memang itu yang aku lakukan.

Tapi kalau kamu, pasti sudah menari berputar-putar dengan riang sambil berceloteh, "seperti di dunia dongeng, ya, Wa?"

Satu-satunya yang bisa mendorongku untuk keluar dari kehangatan selimut adalah perut yang lapar. Dalam bayangan, semangkuk bakso dan segelas jeruk hangat pasti akan nikmat sekali.

Kemarin aku menemukan warung bakso yang tak jauh dari vila. Hanya cukup berjalan kaki beberapa meter. Sekalian olahraga sebentar supaya badan sedikit panas.

"Bakso satu, ya, Pak."

Aku memesan makanan favoritmu itu kepada seorang pria tua yang duduk menanti pembeli di dekat gerobak. Dibalas dengan pertanyaan soal minuman, dan aku sama sekali tak berubah pikiran.

Sambil menunggu makanan siap, aku membuka ponsel. Tadi pagi, sambil menonton A Tale of Princess Kaguya, aku sempat membalas pesan dari Freya yang menanyakan kabar.

Mas baik di sini, Freya. 

"Bakso satu?"

Bapak penjual bakso menyerahkan bakso dan segelas jeruk hangat yang masih mengepulkan asap. Baunya yang sedap menggugah selera dan membuatku tak sabar untuk segera menyantap. Tapi sebelum itu, aku mengirimkan pesan untukmu, lengkap dengan gambarnya.

Enak lho, Sur. Yakin nggak mau?

Suapan pertama hampir masuk ke mulut kalau saja ponselku tidak berdering. Notifikasi panggilan video dari Freya. Mau tidak mau, makanku kembali tertunda.

"Hai," ujarku menyapa seraya menyandarkan ponsel di tembok. Dengan begitu, aku bisa mengobrol dengan calon dokter pertama di keluarga kami sambil makan.

"Mas lihat!" Freya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel pemberianku. "Mas Natha belikan aku stetoskop baru."

Bibir ini ikut tersenyum lebar melihat keceriaan Freya. Beberapa hari yang lalu, ia memang mengeluh stetoskopnya hilang. Entah tertukar atau terbawa temannya, Freya juga tidak tahu. Sementara uangnya bulan ini sudah hampir habis untuk membeli buku dan alat praktikum. Akhirnya adikku hanya bisa pasrah.

Sebenarnya mudah saja. Freya bisa langsung meminta kepada Ayah atau Ibu. Tapi gadis yang tengah belajar mengatur keuangan pribadi itu tak mau menyalahi prinsip. Freya tak mau meminta kalau belum waktunya pembagian uang jajan tiba.

"Aku minta yang mahal. Iseng saja sebenarnya. Aku pikir Mas Natha nggak mau belikan." Freya memamerkan stetoskop berwarna fuschia. "Tapi ternyata Mas Natha langsung bayar tanpa protes."

"Sudah jadi adik tunggalnya Mas Natha, ya sekarang?"

Pahit sekali mulutku mengatakan hal ini. Teringat lagi hubunganku dengan mas Natha yang belum juga membaik. Ini pertengkaran yang paling lama. Jujur, sebenarnya aku mulai khawatir.

"Nggak juga." Freya memasukkan benda keramatnya ke dalam tas. "Aku dapat stetoskop dari Mas Natha karena disuruh memastikan Mas Dewa baik-baik aja di sana."

Aku diam sebentar. Tiba-tiba teringat dengan pesan-pesan yang dikirimkan Freya dalam beberapa hari sejak aku tiba. Awalnya aku pikir, adikku itu memang mulai mempunyai insting sebagai seorang dokter yang perhatian. Sifat gengsinya lesap, seiring empatinya sebagai tenaga kesehatan yang mulai tumbuh. Tapi ternyata tidak sepenuhnya begitu.

Mas Dewa sudah baikan?

Paracetamolnya dibawa, kan, Mas?

Mas Dewa nggak demam lagi, kan? Kalau demam lagi, bilang aku, ya. Jelaskan juga gejalanya apa.

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang