Untuk pertama kalinya, aku merasa kamu jauh, Suri. Bukan jauh secara fisik, karena pada kenyataannya kita sama-sama berada di bawah atap kantor Kusumajati. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku merasa kita berbeda dimensi. Ada bentang tak kasat mata yang memisahkan kita berdua.
"Hai, masih sibuk?"
Aneh sekali. Bisa-bisanya aku merasa canggung hanya untuk menyapamu. Tapi begitulah kenyataannya. Semoga bahasa tubuhku tak terbaca olehmu.
Kamu mengalihkan tatapan dari layar komputer. Menghadapku dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan. "Kamu makan duluan aja, Wa."
Seperti biasa, kamu memang yang paling tahu, bahkan sebelum aku bicara. Tapi kali ini aku sedang tak ingin makan sendiri. Aku juga tak mau makan siang dengan Mas Natha, atau bahkan Ayah dan Ibu. Aku maunya denganmu.
"Jangan kerja terus. Duitnya mau buat apa? Bayar rumah sakit? Mukamu saja sudah pucat begitu," ujarku berusaha santai seperti biasa.
"Pak Natha minta ini selesai satu jam-"
Aku berdecak. "Biar aku hajar nanti kalau dia marahi kamu."
Aku mencengkram kedua pundakmu. Sedikit mengangkat tubuhmu supaya lekas berdiri dan meninggalkan kubikel membosankan ini. Memaksamu untuk berjalan bersama ke kantin.
Aku yakin, perasaan berjarak ini ada karena akhir-akhir ini kita tak punya banyak waktu bersama. Jangankan ngopi di cafe, bercanda pun rasanya tak sempat. Wajahmu ditekuk terus. Aku jadi tak berani mengganggu.
Sifat perfeksionismu itu, lho. Selalu berhasil membuatmu menekuri pekerjaan selama berjam-jam. Bahkan soal makan pun abai. Tapi aku berusaha mengerti. Kamu seperti ini pasti karena tidak mau ditegur karena melakukan kesalahan lagi.
"Aku nggak makan, ya, Wa?" ujarmu lemas. "Aku temani kamu saja."
"Kamu sakit, ya?
"Cuma lagi nggak enak badan. Perutku nggak nyaman, mual."
Kamu pasti masuk angin karena kelelahan, Suri. Imbas dari KAP Kusumajati yang sedang sibuk-sibuknya. Ini bukan hanya terjadi kepadamu. Lihat saja, orang-orang di kantor sudah seperti zombie. Rekening gendut, tapi tak punya waktu untuk menikmatinya.
Aku mencoba berpikir, kira-kira apa yang bisa meredakan ketidaknyamananmu. Mencoba mengingat apakah Freya pernah membicarakan hal ini sebelumnya, sekaligus mengatakan solusinya. Tapi ternyata aku tak ingat apa-apa.
"Aku antar ke dokter saja, ya?"
"Nggak usah, Wa," tukasmu buru-buru. "Cuma butuh istirahat bentar."
"Ayolah, Sur. Kita ke rumah sakit dekat situ," sanggahku sambil menunjuk rumah sakit yang memang tak jauh dari kantor.
"Wa, please ...." Kamu menjeda dengan wajah jengah, tak mau dibantah. "Kalau bisa, aku cuma mau pulang cepat. Tapi kalau semuanya sudah selesai. Aku nggak mau ada yang ketinggalan."
Aku mengangguk saja, meskipun sebenarnya khawatir luar biasa. "Nanti aku antar."
Aku memejamkan mata supaya film semu itu hilang dari pandangan. Melenyapkannya dari pikiran. Berusaha keras untuk kembali pada kenyataan di masa sekarang. Karena setiap kilas balik itu menemaniku lagi, selalu saja berhasil membuatku kepayahan.
Tanganku terulur untuk membuka jendela. Biar malam sudah menjelang, aku tetap membiarkan dinginnya angin pegunungan menyerang. Butuh udara segar. Dadaku rasanya sesak.
Di atas gunung itu, bintang-bintang bersinar terang. Apa kamu ada di sana dan jadi salah satunya?
Kamu tahu, Suri? Aku menyesal tidak membawamu ke rumah sakit. Yang aku pikir kelelahan itu ternyata bukan secara fisik. Gejalanya kurang jeli kubaca. Harusnya aku menyerahkanmu pada ahlinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...