Semua orang pasti takut mati. Apalagi di usia yang masih muda. Kata Freya, salah satu upaya pencegahannya adalah dengan berolahraga. Hal yang selalu aku dan Mas Natha keluhkan karena kami jelas tidak pernah punya waktu luang.
"Disempatkan, Mas. Bukan kalau sempat," ujar Freya dengan jengah.
Kami masih menyangkal dengan banyak alasan. Sebab aku pun tidak pernah punya waktu untuk sekadar lari pagi. Setiap hari, aku selalu tidur larut dan berujung dengan bangun kesiangan. Kalau sudah begitu, aku akan bangun dengan keterkejutan. Beribadah dengan tidak tenang, dan mandi terburu-buru. Pagiku seperti marathon.
Soal sarapan, syukur kalau sempat. Kalau tidak, ya tunggu saja sampai makan siang. Kalau masih belum sempat lagi, ya sudah banyak-banyak berdoa supaya tidak pingsan.
"Lari-lari, Mas?" seorang ibu petani menyapaku.
Aku tersenyum dan mengangguk singkat. "Iya, Bu. Mari."
Tapi di sini beda, Suri. Aku punya banyak kesempatan untuk tidur tepat waktu. Dalam waktu yang cukup, sesuai saran artikel-artikel kesehatan. Badanku selalu segar setiap bangun di pagi hari. Sekarang aku juga punya jam makan teratur, tiga kali dalam sehari.
Aku berbicara kepada Tuhan dalam doa-doa yang terasa syahdu di awal pagi yang berkabut. Hal yang indah untuk mengawali hari, menurutku. Kemudian aku melanjutkan kegiatan dengan olahraga pagi yang membuat hati lebih bahagia. Yang mudah saja. Jogging biasanya.
Saat berangkat, aku bertemu dengan para petani yang mulai turun ke ladang. Kami saling menyapa ringan. Dengan basa-basi, atau sekadar senyuman.
Kalau pulang, aku berjalan beriringan dengan parade anak-anak yang berangkat sekolah. Sesekali mengajak mereka mengobrol. Menanggapi celotehan yang kadang tak jelas, namun juga lucu itu.
"Mas Dewaaa!!!"
Aku menoleh. Tiga orang anak laki-laki, dan dua orang perempuan berlari ke arahku. Aku ikut bersorak menyambut mereka. Kedua tanganku sampai terbentang, menyamai tangan-tangan kecil mereka yang terangkat ke atas.
Anak-anak yang tingginya hanya sepinggang itu memelukku. Sebuah pelukan, Sur. Aku tidak salah bilang. Di mana lagi kamu bisa dipeluk seorang anak kecil yang bahkan baru ditemui beberapa kali? Sebuah pelukan yang terasa lugu dan polos tanpa ada maksud apapun.
"PRnya sudah dikerjakan belum?"
"Sudaahh!!"
Mereka menjawab kompak seperti sebuah paduan suara yang sumbang. Aku memberi apresiasi dengan dua jempol.
"Punya Rani belum, Mas."
"Hei, sudah!"
Aku tertawa ketika seorang anak laki-laki yang dari badge namanya aku ketahui bernama Adit itu mengejek salah seorang teman perempuannya. Rani berusaha memukul Adit, tapi anak laki-laki itu kemudian buru-buru menghindar dan bersembunyi di balik punggungku.
"Cie ..., cie ...."
Belum usai perdebatan antara Rani melawan Adit, anak yang lain membuat mereka semakin kesal lagi. Backsound cie cie itu ternyata bukan milik anak SMP saja. Anak berseragam merah putih ini juga hobi melakukan hal yang serupa.
"Jangan berantem, ya?" aku mengusap kepala mereka satu persatu. "Ini, buat jajan di sekolah."
Kamu lihat wajah semringah mereka, Sur? Padahal hanya selembar uang lima ribu yang aku berikan untuk masing-masing anak itu. Tapi berhasil membuat sudut-sudut bibir Rani, Adit dan kawan-kawannya mengembang secara maksimal. Binar dalam kedua mata yang sorotnya penuh keluguan itu seperti bintang di langit malam. Dan seketika, aku tertular kebahagiaan mereka yang sederhana.
![](https://img.wattpad.com/cover/323961745-288-k465752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vila Kusuma
RomanceKematian Suri, sang sahabat seperjuangan tidak hanya membuat Dewangga berduka, namun juga merasa bersalah luar biasa. Perasaan itu membuatnya mengundurkan diri dari KAP Kusumajati, tempat dimana ia serta Suri berkarir untuk meraih mimpi-mimpi. Dewa...