Tap tap ⭐
Happy Reading!***
Langkah kaki Sekar terhenti di balik dinding dapur ketika rungunya mendengar percakapan budhe Rukmini dengan seseorang di telepon.
"Aku sama mas Suryo ndak mempermasalahkan itu, ndak sama sekali. Kami sangat senang dengan kehadiran Kinan di sini. Bersyukur banget malah kalau dia betah tinggal di sini."
Sekar masih diam menatap lantai di bawahnya.
"Tapi bukan berarti kamu bisa bicara seperti itu. Kinan tuh anak kamu. Kalau dia ingin kembali ke Jakarta ya terserah dia toh? Kamu ndak bisa mutusin kayak gitu. Kenapa kamu seolah-olah kayak membuang dia ke sini? Kamu ndak setega itu toh?"
Sekar mengepalkan tangannya erat-erat. Ayahnya membuangnya? Sekar tertawa miris. Terkadang Sekar heran, apa benar seseorang yang ia panggil ayah adalah ayah kandungnya? Dan juga, apa ketidakberdayaannya begitu melukai harga diri ayahnya? Apakah perceraian yang terjadi padanya adalah sebuah kesalahan besar? Sebuah aib yang sangat menjijikkan, kah?
"Seharusnya kamu bersyukur karena punya Kinan." ucap budhe Rukmini sebelum memutus sambungan telepon. Lantas beliau mendesah kasar. Dan Sekar belum memiliki niat untuk mendekat.
Bagaimana bisa hatinya utuh kembali jika setiap kali Sekar berhasil memasang serpihan-serpihan yang telah berserakan, hatinya kembali dihancurkan. Rasanya ia ingin menyerah. Tetapi Sekar tak ingin menyia-nyiakan hidup yang Tuhan berikan padanya. Sekar yakin dirinya mampu melewati cobaan yang sedang menimpanya.
"Kinan? Kok ngelamun di situ?"
Sekar terlonjak. "Pakdhe?"
Terdengar langkah kaki mendekat. "Kok pada berdiri di situ?" tanya budhe Rukmini. Saat netranya bersinggungan dengan Sekar, wanita paruhbaya itu lantas mengalihkan pandangan.
Sekar tersenyum manis. Mencoba bersikap biasa setelah tak sengaja mendengar percakapan itu.
"Budhe, aku kangen jajanan pasar. Boleh nggak Sekar ke sana?" pintanya.
"Boleh-boleh aja Nduk, Budhe ndak ngelarang. Mas, kamu bisa ndak nganter Kinan?" tanyanya pada suaminya.
"Waduh, Maaf Ki. Pakdhe ndak bisa nganter. Mau cari rumput buat makan sapi. Harus gasik soalnya. Maaf banget ya," ujar pakdhe Suryo tak enak hati.
"Yaudah nggak papa kok, besok atau kapan-kapan sebisanya Pakdhe aja." balas Sekar kalem.
Wajah budhe Rukmini tiba-tiba sumringah. "Ah, minta tolong Pras aja ya?"
Sekar hanya bisa membatin. Dia lagi?
***
Hari ini Januar bangun lebih awal dari biasanya. Setelah meregangkan ototnya, ia beranjak menuju dapur. Persetan dengan kesehatannya, ia membuat segelas kopi di jam 5 pagi. Januar butuh sesuatu yang pahit untuk menghilangkan kepingan-kepingan memori yang sudah lama tak muncul dalam pikirannya. Walaupun sebenarnya tidak berpengaruh juga.
Pikiran Januar kini melayang pada ga–oh bukan. Bukan gadis tetapi wanita itu. Januar terkekeh miris ketika dirinya menemukan sebuah jawaban. Jawaban dari pertanyaannya beberapa waktu belakangan setelah melihat wanita itu. Sekarang Januar sudah tahu mengapa sorot mata wanita itu terasa familiar. Ternyata ia pernah melihatnya di masa lalu. Sama persis. Tetapi Januar tidak tahu apakah penyebabnya sama atau tidak.
Sebenarnya, secara tidak langsung wanita itu memaksa Januar untuk membuka lagi kenangan buruk dalam hidupnya. Lantas ia menggelengkan kepalanya. Tidak, Januar tidak boleh menyimpulkan seperti itu. Wanita itu tak tahu apa-apa.
Tungkainya melangkah ke pintu depan. Ia ingin duduk di teras dan menunggu matahari terbit sembari menikmati kopinya. Setelah Januar membuka pintu, ia tertegun.
Wanita yang baru saja ia pikirkan berada di depan rumahnya. Menatapnya lurus. Lagi-lagi sorot mata itu. Januar memalingkan wajah. Enggan terseret kembali pada kubangan masa lalu.
Demi kesopanan, ia mengangkat wajahnya perlahan. "Ada apa?"
Wanita itu terlihat ragu-ragu. Januar mengangkat satu alisnya heran. Sebetulnya apa yang sedang dilakukan wanita ini?
"Anu ... eum ... kamu ... mau anterin saya nggak?" Wanita itu meremas kedua tangannya gugup.
Januar semakin mengerutkan dahinya. "Hah? Kemana?"
"Pasar."
***
"Kenapa ndak naik?" tanya Januar sembari menghembuskan nafasnya kasar. Sudah beberapa waktu terlewati dan wanita itu hanya diam saja.
Sekar menatap sangsi pada Januar dan motor di hadapannya. "Kita ... naik motor?"
"Ya naik apa memangnya? Naik mobil? Diketawain satu pasar yang ada. Cepet naik!"
"Emang sepeda nggak ada?"
Januar memejamkan matanya. Memantrakan kata sabar dalam hati.
"Saya harap kamu sadar kalo kamu bukan anak kecil yang gampang diboncengi." sindir Januar pedas.
Sekar lantas cemberut. Apa-apaan dia? Sekar tidak seberat itu!
"Cepet naik atau saya berubah pikiran." ancam Januar.
Dengan berat hati, Sekar mulai menaiki motor itu. Dan lelaki di depannya sama sekali tidak peka atau memang tidak mau membantunya naik. Setelah beberapa saat, Sekar sukses duduk menyamping di boncengan motor Januar. Dan tanpa basa-basi, motor lelaki itu melaju membelah jalan setapak dan melewati pemukiman warga.
***
Entah berapa lama waktu yang terlewat, Sekar tak menghitungnya. Tetapi motor Januar sudah terparkir di parkiran pasar setelah melewati sawah dan pepohonan rindang. Tidak ada yang lebih baik dari udara pagi di pedesaan. Sungguh menyegarkan. Sekar masih terbuai dengan sapaan lembut angin pada pipinya tadi. Sampai suara tegas seorang lelaki memasuki gendang telinganya.
"Turun."
Sekar menurut meskipun sedikit dongkol. Lantas ia mengikuti langkah Januar ke dalam pasar. Sekar terperangah. Katakan ia berlebihan, namun suasana pasar pedesaan yang cukup ramai membuatnya hatinya senang.
Dulu, saat neneknya masih hidup, Sekar kecil selalu pergi ke pasar bersama beliau. Membeli segala macam jajanan pasar yang membuat perutnya kekenyangan. Sekar tersenyum kecil mengingat kenangan manis itu. Sejak neneknya meninggal, Sekar tak pernah pulang ke Jogja lagi ketika liburan sekolah.
"Jangan melamun. Nanti kesasar." tegur Januar.
"Iya."
Januar mendengkus.
Tak lama, mereka sampai pada deretan penjual yang menjual jajanan pasar. Mata Sekar berbinar. Dengan cepat ia menyalip Januar dan mendekati salah satu penjual di sana.
"Ibu, saya mau ini, terus ini, oh ini juga. Eh semuanya deh!" seru Sekar dengan antusias. Wajah ayunya bersinar cerah melihat jajanan di depan matanya.
Sang penjual terkekeh. "Oke, Mbak."
Januar tertegun—lagi. Pertama kali dalam hidupnya, ia melihat seorang perempuan sebahagia ini hanya karena jajanan pasar. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas sedikit. Januar tersenyum tipis. Sangat tipis.
-TBC-
Hai kembali lagi hehe
So far gimana? Ngebosenin ya😅
Tapi emang cerita ini buat dibaca santai aja sih..
Aku juga seneng karena nulisnya tanpa beban meski agak mikir dikit jalanin alurnya wkwk
Btw udah nemu hint permasalahan utamanya belom? HihiTolong vote+komen ya, sangat berharga buatku🥺❤️
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Latibule✔
Fanfiction[ KARINA ft. JENO ] Sekar Ayu Kinanti baru saja diceraikan suaminya karena sebuah alasan. Demi menyembuhkan luka di hatinya, ia pergi dari Jakarta dan hidup di pedesaan. Meninggalkan segala kenangan dan menjauh dari orang-orang yang menyakitinya. Ja...