8. Pernikahan Hanif

2K 435 62
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

Waktu berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari pernikahan Hanif dan Andini. Januar sudah berada di lokasi sejak pagi. Bahkan dari hari-hari sebelumnya. Omong-omong, bengkelnya ia tutup sejak kemarin. Bagaimanapun, Hanif adalah temannya di desa ini sejak kedatangannya tujuh tahun lalu. Pemuda itu sudah banyak memberikan kebaikan untuknya. Jadi Januar akan membalasnya dengan kebaikan pula. Apalagi hari ini adalah hari istimewa untuk Hanif. Ia hanya membantu sebisanya.

Acara berjalan lancar sejak pagi. Hanif dan Andini telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Januar jarang tersenyum untuk Hanif. Tetapi hari ini, bibirnya melengkung dengan lebar ketika temannya menangis haru setelah resmi menjadi seorang suami. Januar bahagia. Dengan tulus, ia memanjatkan doa untuk Hanif dan istrinya.

Jam tiga sore waktu setempat, Januar kembali ke rumahnya untuk bergantian istirahat dengan pemuda yang lain. Ia akan kembali lagi setelah maghrib dan hadir sebagai tamu undangan secara resmi. Mungkin setelah ini Januar akan tidur terlebih dahulu.

***

Tiara terlihat anggun malam ini. Gadis itu memang selalu terlihat manis meskipun dengan kemeja dan celana kulotnya, namun malam ini Tiara terlihat sangat memesona. Mungkin penyebabnya adalah brokat biru pastel yang cocok dengan warna kulitnya. Wajahnya ia poles dengan makeup yang pas dan tidak berlebihan. Beberapa pasang mata menatapnya dengan kagum. Sudah tidak mengherankan lagi sebenarnya. Tiara adalah anak dari salah satu orang terpandang di desa mereka. Sudah sejak lama ia menjadi objek yang dibicarakan para warga di desanya. Kendati demikian, ia tak peduli.

Tiara mendengkus kesal meskipun dirinya seperti seorang putri malam ini. Di depannya, kakaknya—Maharani menggandeng lengan suaminya dengan mesra. Jujur saja Tiara iri. Dirinya juga ingin bermesraan seperti itu. Setelah mereka memasuki tempat hajatan, Tiara berpisah dengan kakak dan kakak iparnya karena mereka memilih hidangan yang berbeda. Tiara celingak-celinguk mencari tempat kosong. Beberapa pemuda bersiul menggoda ketika menangkap keberadaannya. Tiara semakin gondok saja rasanya.

"Tiara!"

Tiara menoleh ketika mendengar panggilan itu.

"Budhe!" serunya senang. Tiara berjalan cepat menghampiri budhenya. Dan ia semakin lega ketika melihat kursi kosong di sebelah budhenya.

"Kamu kondangan sendiri?" tanya sang budhe dengan ekspresi menghakimi.

Tiara hanya mengangguk sekenanya.

"Emang nggak ada yang bisa diajak kondangan?"

"Aku tadi kondangan sama Mbak Rani dan Mas Esa kok, Budhe." jawabnya santai.

Telinganya mendengar decakan di sebelahnya. Ia mencoba tidak peduli.

"Cari pacar lah, Ra. Kamu udah umur berapa. Jangan menunda-nunda." tegur sang budhe.

"Tahun ini aku 25 tahun. Omong-omong, Tiara udah nemu Budhe, cuma belum pacaran aja."

"Nah itu! Udah 25 tahun! Budhe aja dulu 18 tahun udah menikah."

Tiara memutar matanya malas. "Mbak Rani aja nikahnya pas umur 27 tahun kok Budhe."

"Ya jangan tiru Mbakmu!" hardiknya.

"Iya." jawabnya singkat. Tiara malas berdebat.

"Tadi kamu bilang udah nemu? Siapa? Bukan si Pras itu, kan?" decihnya tak suka.

"Memang kenapa kalo Mas Pras?" balasnya tak peduli.

"Kamu itu cantik, keluargamu terpandang, dan kerja di bank. Masa jadinya sama cowok kayak Pras?"

Tiara menghentikan suapannya. "Nggak ada yang salah dengan itu. Mas Pras baik dan pekerja keras."

"Tiara, Budhe kasih tau ya. Dalam pernikahan, cinta udah nggak penting lagi. Yang terpenting adalah kehidupan yang layak. Asal kebutuhan tercukupi, kamu akan bahagia. Kamu harus mikir panjang dong. Kamu mau kasih anakmu batu emangnya?"

Selera makannya hilang. Tiara jadi menyesal karena memilih duduk di sini.

"Terus, bukannya si Pras itu udah punya pacar ya?" tambah sang budhe. Membuat Tiara hampir tersedak.

"Hah?" Tiara terkejut. Siapa?

"Kamu nggak tahu? Itu loh, anak kota ponakannya Rukmini. Budhe beberapa kali lihat mereka boncengan. Kelihatan mesra banget."

Wajah Tiara berubah sinis. "Dia bukan pacarnya Mas Pras." tandasnya angkuh.

"Oh, ya? padahal dia seharusnya udah menikah loh. Sudah ketuaan umurnya." ujar sang budhe dengan sinis.

Tiara melirik tertarik. "Emangnya berapa Budhe?"

"28 tahun. Tua banget, kan?"

Tiara hanya menyahut sekenanya—karena baginya, itu tidak terlalu tua. "Kok Budhe tau?"

"Waktu itu sempat ngobrol sebentar pas posyandu-an. Tipikal anak kota yang nyebelin. Budhe nggak suka." ucap sang budhe dengan sebal.

"Iya. Emang kelihatan nyebelin." sahut Tiara dengan sinis.

Hening.

Tiara mencoba kembali memakan hidangannya. Ia tak enak pada tuan rumah jika piringnya masih penuh. Tepukan keras pada pundaknya membuatnya terperanjat kaget.

"Budhe, aku kaget!!" serunya kesal. Masa bodoh jika beliau akan memarahinya karena bertindak tidak sopan.

"Tuh kan, mereka pacaran. Lihat, mereka kondangan bareng!"

Tiara mengikuti arah pandang sang budhe. Seketika darahnya mendidih. Ia benar-benar membenci wanita itu.

***

Sekar mematut penampilannya di cermin. Entah mengapa ia merasa gugup. Padahal Sekar yakin, di sini tidak terlalu mementingkan penampilan atau Sekar salah mengira?

Sekar jadi teringat ketika ia menemani mantan suaminya dulu saat pergi kondangan. Pria itu selalu mengomentari apapun yang dikenakannya. Bahkan tidak jarang pria itu sendiri yang memilihkan pakaian yang harus Sekar kenakan. Sekar tahu, mantan suaminya tak ingin Sekar mempermalukannya. Mantan suaminya ingin Sekar menjadi pendamping yang dapat ia banggakan di depan banyak orang.

Ketukan pada pintu kamarnya menarik Sekar dari lamunan. "Nduk, udah siap?"

"Udah Budhe, sebentar." Sekar mengambil tasnya lantas membuka pintu.

"Ayune," puji Budhe Rukmini.

"Enggak ah Budhe." Sekar berujar malu-malu.

Mereka berjalan keluar rumah. Pakdhe Suryo sudah menunggu di depan sedari tadi. Ketiganya berjalan beriringan. Lokasi pernikahan Hanif dan Andini tidak terlalu jauh namun juga tidak dekat dari rumah mereka. Kira-kira membutuhkan waktu lima sampai sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Suara pintu yang dikunci mengalihkan perhatian mereka. Sekar mengerjap pelan. Lelaki itu ... terlihat berbeda dengan kemeja batik di tubuhnya.

"Loh, Pras? Bapak pikir koe wes neng kono?" Pakdhe Suryo bertanya heran. (Bapak pikir kamu sudah disana?)

"Istirahat Pak, gantian. Pras juga mau kondangan secara resmi."

"Walah, ayok bareng wae!" ajak beliau.

Januar menurut. Ia tak sengaja berjalan bersebelahan dengan Sekar. Lelaki itu melirik wanita di sebelahnya yang mengenakan brokat pink pastel. Rambut panjangnya disanggul dengan sederhana. Namun Januar yakin, semua orang di desa ini akan setuju dengan pendapatnya jika Sekar sangat memesona malam ini.

"Cantik." gumamnya tanpa sadar.

Sial. Apa yang baru saja ia katakan?

-TBC-

Hai aku datang lebih cepat wkwk😉
Apa kabar semuanya? Semoga sehat ya.
Maaf kalo Pras atau Sekar nya muncul dikit🙏🏻

Makasih udah baca dan ninggalin jejak ya🥰
Semoga kalian gak bosen sama cerita ini🥺

Tolong vote+komen ya, sangat berarti buatku❤️
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang