6. Perdebatan

2K 434 76
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

"Eum ... s-saya ...."

Alis sang wanita paruh baya itu menukik. Menunggu jawaban Sekar dengan tak sabar. Sekar mengeluh dalam hati. Kenapa orang-orang sangat penasaran dengan kehidupan orang lain?

Sekar mendesah pasrah. "Saya su-"

"Ah, kamu pasti ikut-ikutan budaya luar ya? Yang milih nggak nikah terus hidup sendiri?" tebaknya dengan sinis.

Sekar berkedip-kedip pelan. Kenapa ia jadi difitnah?

"Perempuan apaan begitu. Sok-sokan tidak butuh laki-laki. Memilih hidup sendiri, tapi tidur sama laki-laki sembarangan tanpa ikatan pernikahan. Jangan ikut-ikutan budaya luar, nggak bagus. Tuhan kan menciptakan umatNya untuk berpasang-pasangan. Memangnya orangtua kamu nggak pengen kamu menikah?" semprotnya panjang lebar.

Sekar hanya terkekeh canggung. "Saya tidak begitu kok, Bu." elaknya.

Sekar saja sudah menjalani pernikahan selama 3 tahun meski berujung kegagalan. Tapi sepertinya tuduhan wanita tua ini agak benar. Setelah perceraiannya, Sekar sudah tak memiliki kepercayaan apapun untuk memulai hubungan kembali. Sepertinya ia akan melajang sampai akhir hayatnya. Hidup sendiri tanpa pasangan tidak semenyedihkan itu, kan?

"Ya terus kenapa menunda-nunda menikah? Umur kamu sudah berapa?"

Sekar menelan ludah. "Tahun ini saya 28 tahun."

Sang lawan bicara terbelalak. "Apa? Sudah telat banget itu. Ayo cepat-cepat nikah! Takut keburu jadi perawan tua!"

Rasanya Sekar ingin kabur sekarang juga. Padahal awalnya ia ingin berkata jujur mengenai statusnya. Tetapi melihat respon meletup-letup sang lawan bicara mengenai seseorang yang tidak menikah, Sekar yakin ia akan dimaki-maki juga karena sudah bercerai. Sekar sangat yakin itu. Karena ia sudah pernah mendapatkan reaksi yang sama sebelumnya.

"Kalau sudah 30 tahun ke atas itu kurang produktif, nanti susah punya anak. Memangnya kamu mau kayak Budhe kamu? Nggak punya anak. Kesepian tuh cuma berdua, untung tidak diceraikan suaminya." tandasnya pedas.

Deg.

Sekar menatap tak percaya pada wanita tua di sampingnya. Kenapa beliau bisa berbicara sejahat itu tentang orang lain? Bukankah beliau juga seorang perempuan? Matanya sudah berair. Sekar bangkit berdiri.

"Saya rasa perkataan Ibu sudah keterlaluan." desisnya pelan.

Wanita tua itu tersinggung. "Keterlaluan bagaimana? Bukannya itu fakta? Saya nggak mengada-ada." Suaranya cukup keras.

Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka dengan penasaran.

"Tapi itu menyakitkan, Bu."

"Menyakitkan? Budhe kamu aja nggak dengar." kilahnya tak peduli.

"Tapi bukan berarti Ibu bisa berbicara seenaknya!" Sekar tak gentar.

"Tipikal orang kota. Sukanya cari masalah." Wanita tua itu mencibir.

Sekar semakin tak habis pikir. Apa hubungannya?

"Bukan-"

"Kinan?" panggil Budhe Rukmini.

"Budhe ...."

"Sudah. Ayo pulang."

"Rukmini, tolong ya ajarkan ponakanmu yang dari kota ini untuk menghormati orang yang lebih tua!" teriaknya lantang.

"Iya."

Melihat balasan Budhe Rukmini yang singkat, wanita tua itu meradang. "DASAR SOMBONG! PANTESAN NGGAK DIKASIH ANAK."

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang