10. Pendengar yang baik

1.9K 403 65
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

"Tapi kami bercerai." lanjut Sekar.

Saya sudah tahu.

Tentu saja kalimat itu hanya terpendam di benak Januar.

Keduanya masih bertatapan.

"Kan, feelingku benar." ujar Sekar dengan senyuman tipis.

"Feeling?" tanya Januar bingung.

"Feeling kalo Mas Pras nggak akan menghakimi aku." jawab Sekar sembari mengalihkan pandangannya ke depan.

"Kenapa saya harus menghakimi kamu karena itu?"

"Ya ... soalnya kebanyakan gitu," Sekar tersenyum pedih.

"Perceraian bukan tindak pidana kan? Kenapa saya harus menghakimi kamu. Rumahtangga itu dilakukan oleh dua orang, kalau memang itu pilihan kalian berdua untuk berpisah ya sudah? Orang lain tidak berhak mencampuri. Itu menurut saya." jelas Januar bijak.

"Benar. Harusnya gitu, tapi masyarakat kita kan sukanya mencampuri urusan orang lain. Dan perceraian masih dianggap tabu. Toh, yang gagal itu pernikahan kami, bukan mereka. Kenapa mereka tidak bisa menerima pilihan orang lain atas hidup mereka sendiri?" Sekar berujar lesu.

"Karena mengurus masalah orang lain lebih mudah dibanding fokus menyelesaikan masalah sendiri bagi mereka. Sudah menjadi makanan sehari-hari. Benar-benar suatu kebiasaan buruk yang sudah dinormalisasi." balas Januar muak.

"Sad truth." Sekar menyahut lirih.

Hening.

"Kenapa ... kenapa ayah nggak bisa kayak Mas Pras ya? Mas Pras yang orang lain aja bisa ngerti, kenapa ayahku sendiri enggak bisa?" Pelupuk matanya sudah basah.

Januar terdiam sejenak. Sebelum menjawab, "Sekar, yang perlu kamu ingat, saya tidak menikah dan tidak punya anak. Jadi saya nggak bisa memposisikan diri bagaimana rasanya mempunyai anak perempuan yang gagal dalam pernikahannya. Pendapat saya adalah murni dari pemikiran saya tanpa melibatkan emosi karena kita berdua bukan kerabat. Tapi, ayah kamu berbeda. Darah beliau mengalir di kamu. Beliau yang mendidik dan mengurus segala kehidupan kamu sejak kamu lahir. Sudah pasti, beliau melibatkan perasaan dalam merespon perceraian kamu. Mungkin, ayah kamu hanya butuh beberapa waktu untuk menerima fakta itu dan seratus persen paham dengan keputusan kamu." jelas Januar panjang lebar.

"Benar ... itu benar. Tapi sebenarnya, permasalahannya lebih pelik. Dan itu yang masih belum bisa beliau terima. Tapi maaf aku nggak bisa cerita ke Mas Pras ...." cicit Sekar.

"Nggak masalah. Senyamannya kamu saja, saya tidak memaksa orang lain harus menceritakan segala permasalahan hidupnya ke saya."

Sekar tersenyum kecil. "Pantas budhe sama pakdhe percaya banget sama Mas Pras."

"Karena saya juga percaya mereka." ucap Januar dengan senyuman tipisnya.

"Makasih ya, Mas. Mas Pras bener-bener pendengar yang baik. Makasih banyak udah mau aku curhatin," kata Sekar dengan tulus.

"Sama-sama. Makasih juga sudah mempercayai saya," jawabnya. "Udah mau maghrib, ayo pulang." Januar berdiri.

Januar berjalan terlebih dahulu. Sekar mengikuti di belakang. Sekar mengernyitkan dahinya ketika lelaki di depannya tiba-tiba menghentikan langkah.

"Sekar, kalau kamu butuh sesuatu atau mau minta bantuan ... jangan ragu bilang ke saya ya?" bisiknya tanpa memutar tubuhnya menghadap Sekar.

Sekar terpaku.

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang