9. Sebuah kenangan

1.9K 408 29
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

Sekar menatap tetesan air hujan dari balik jendela kamarnya. Orang-orang berkata jika hujan tidak hanya membawa genangan, tetapi juga kenangan. Dan Sekar membenarkannya, karena beberapa kenangan tengah berkelebat di dalam kepalanya.

"Permisi.. eum.. Kakak ini.. Kak Vian bukan ya?" Tanya Sekar ragu-ragu.

Seorang lelaki berbalik menghadapnya. Dahinya berkerut. "Iya.. benar. Kenapa?"

"Boleh minta tanda tangan Kakak nggak?"

Lelaki yang dipanggil 'Kak Vian' itu menaikkan satu alisnya.

"Jangan bilang ini hukuman?"

Sekar mengangguk.

"Yaampun, siapa sih yang ngide? Pake hukum-hukuman segala. Udah sore gini jugaan, harusnya pada biarin para maba pulang. Btw, emang kamu salah apa?"

"Saya.. nggak bawa tanda pengenal." Jawab Sekar.

Sempat terbesit dalam pikiran Sekar jika kakak tingkat di hadapannya ini akan memarahinya juga. Hal itu didukung dengan tatapannya yang mengarah padanya tepat Sekar melontarkan jawabannya. Sekar yang ditatap sedemikian rupa langsung menundukkan kepalanya. Ia sudah siap mendapatkan bentakan lagi.

Sekar terkejut ketika rungunya mendegar sebuah tawa. Seketika kepalanya terangkat. Dan ia tertegun. Bukannya memarahinya, lelaki itu malah tertawa.

"Kok bisa-bisanya yang penting malah nggak dibawa hahahah"

Sekar tersenyum canggung. Ia memilin lipatan kemeja putihnya dengan malu-malu. Suara tawanya, wajahnya yang memancarkan kehangatan, Sekar menyukainya.

Setelah 18 tahun hidup, akhirnya Sekar percaya bahwa 'cinta pada pandangan pertama' itu nyata adanya. Karena Sekar baru saja mengalaminya. Dan ia juga tak pernah menyangka jika 10 tahun kemudian, cinta pertamanya akan berakhir tragis.

Di sore hari itu, tak hanya tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi.

***

"Mas, mau isi angin."

"Nggih, Pak."

"Pak Bapak, mau aku ulangan matematika terus bijiku satus!" (Pak Bapak, tadi aku ulangan matematika terus nilaiku seratus!)

Januar melirik siswa berseragam SD yang sibuk berceloteh pada ayahnya. Raut wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Diam-diam Januar tersenyum tipis.

"Wah pintere anak lanange Bapak.." Balas sang Bapak dengan senyum teduh. (Wah pinternya anak laki-lakinya Bapak..)

Kegiatan Januar terhenti. Andai saja, andai saja ia bernasib sama seperti bocah itu.

"Pa? Papa? Pras pulang Pa! Pras mau pamer nilai Pras! Papa dimana?"

Demi Tuhan, Januar menyesali keputusannya untuk mencari ayahnya hari itu.

"Mas?"

"Mas?!"

"Eh iya!" Januar tersadar dari lamunan.

"Kayaknya udah penuh itu Mas ban saya,"

"Eh maaf Pak maaf.."

"Ndak papa, malah awet." Si Bapak terkekeh. "Iki yo Mas duit'e," (Ini ya Mas uangnya.)

Januar meringis dalam hati. Awet sih awet, tapi kalau kelebihan angin juga nggak enak dipakai, Batinnya.

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang