7. Setitik kerinduan

2K 443 26
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

Tak terasa, sudah satu bulan sejak kedatangan Sekar ke Temanggung. Sejauh ini, Sekar merasa cukup nyaman berada di sini. Udaranya sejuk, orang-orang nya cukup ramah, meski beberapa diantaranya cukup menyebalkan tapi tak masalah. Sekar tetap merasa nyaman karena mereka tidak mengenal dirinya secara mendalam. Selagi mereka tidak menyalahkannya, tidak memojokannya dan tidak mengolok-oloknya, itu sudah cukup bagi Sekar.

Sekar juga belum berteman dengan siapapun di sini. Meskipun beberapa kali ia mengobrol bersama Risti dan Feni karena rumah keduanya dekat dengan rumah budhenya. Januar? Hm, tidak bisa dikatakan teman juga. Sekar merasa mereka tak sedekat itu. Keduanya tidak pernah mengobrol jika tidak ada kepentingan. Tapi Sekar tahu, kalau Januar itu lelaki yang baik.

Seperti sekarang, lelaki itu rela terlambat membuka bengkelnya demi membantu pakdhenya. Semalam hujan deras, beberapa genteng di bagian belakang rumah tertimpa dahan pohon nangka yang cukup besar. Budhe Rukmini melarang sang suami menaiki tangga lipat sendirian. Jadi beliau meminta tolong kepada Januar untuk membantu suaminya. Dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, lelaki itu mengiyakan tanpa membantah. Sekarang Sekar tidak heran mengapa pakdhe dan budhenya sangat menyayangi Januar seperti anak sendiri.

"Untung ono simpenane yo Pak," komentar Januar. (Untung ada simpanannya ya Pak,)

"Lah iyo, nek ora ki aku ndadak tuku sek halah kesuwen." balas Pakdhe Suryo. (Lah iya, kalau engga nih aku harus beli dulu halah kelamaan.)

Januar terkekeh. Ia menuruni tangga lipat yang dipegang Pakdhe Suryo dengan erat. Pekerjaan mereka sudah selesai. Gentengnya sudah diganti dengan yang baru.

"Pras, ojo bali sek. Mangan gorengan sek!" perintah Budhe Rukmini dari arah dapur. (Pras, jangan pulang dulu. Makan gorengan dulu!)

"Ndak usah Buk," tolaknya.

"Halah kayo karo sopo wae, rene lungguh sek." tekan Budhe Rukmini. (Halah kayak sama siapa aja, sini duduk dulu.)

"Turuti Le, ngopi sek." tambah Pakdhe Suryo.

Tepat setelah ucapan Pakdhe Suryo, Sekar datang membawa nampan yang berisi dua gelas kopi yang masih mengepul.

"Kurang opo Le, sing nggowo kopi koyo bidadari." (Kurang apa Nak, yang bawa kopi kayak bidadari.)

Januar hanya tersenyum canggung. "Nggih, Pak."

"Silahkan diminum," ucap Sekar.

"Makasih yo Nduk,"

"Makasih."

Sekar undur diri. Januar mengamati kepergiannya diam-diam.

***

Sekar baru saja akan pergi ketika gawainya berbunyi. Ia sedikit terkesiap ketika melihat nama sangat penelepon.

"Halo."

"Sayang, apa kabar?"

Isakannya hampir keluar ketika rungunya mendengar suara lembut itu.

"Ibu ...." lirihnya.

"Kamu sehat kan, Ki?"

"Sehat Bu ... Ibu sehat?" Tenggorokannya seperti tersumbat. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya sang ibu menghubunginya sejak Sekar datang kemari.

"Sehat. Kamu betah di sana?"

Sekar mengangguk meski sang ibu tak melihatnya. "Betah Bu," imbuhnya kemudian.

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang