4. Sekotak bekal

2.2K 464 27
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

"Kamu beli banyak banget toh Nduk?" budhe Rukmini melongo melihat jajanan yang berjejer rapi di meja makan.

"Heheheh" Sekar cengegesan.

"Memangnya habis?"

"Semoga habis, Budhe." harapnya.

"Pras dikasih ndak?"

Sekar terdiam. Mengapa ia tak menawari lelaki itu ya tadi?

"Enggak ...."

"Kalau kamu mau, kasih aja. Itung-itung imbalan kecil karena dia sudah mau mengantarkan kamu." saran budhe Rukmini.

"Budhe kayaknya perhatian banget ya sama dia. Anaknya baik ya, Budhe?" Jujur, Sekar penasaran.

"Baik banget, selalu bantuin Budhe sama pakdhe. Misal di rumah ini ada kerusakan yang pakdhe-mu ndak bisa, Pras yang selalu benerin. Anaknya juga ndak pernah minta apapun meski sering bantu. Yah, intinya sudah kayak anak Budhe sendiri."

"Ah gitu ...."

"Dia baru wisuda pas pindah ke sini. Sendirian. Budhe juga ndak berani tanya asal-usulnya apalagi keluarganya. Yang Budhe tau, dia tuh sudah ditawari kerja di Jepang tapi dia menolak. Malah buka bengkel sendiri di desa kayak gini. Jujur Budhe heran banget, tapi pasti Pras punya alasannya sendiri. Dan Budhe bangga sama dia karena berani ambil langkah beda." budhe Rukmini tersenyum hangat.

Melihat itu, Sekar ikut tersenyum. Sekarang, pandangan Sekar mengenai Januar sedikit berbeda dibandingkan saat awal bertemu. Entah mengapa, Sekar ingin berteman dengan pemuda itu. Namun pada detik selanjutnya, ia menggeleng. Ia tidak boleh berteman dengan seorang pria. Tidak lagi.

***

"Ada apa lagi? Saya mau siap-siap dan pergi ke bengkel." ujar Januar ketika Sekar mendatangi rumahnya kembali.

"Mau ngasih ini ...."

Januar melirik jajanan pasar yang sudah tertata di piring.

"Ndak usah. Memangnya kamu ndak kurang?" tolaknya.

"Enggak kok. Malah kebanyakan."

"Maaf, tapi saya kurang suka makanan manis. Kalau kamu mengijinkan, buat mereka aja." tunjuk Januar pada beberapa gerombolan balita bersama ibu mereka yang sedang bertukar cerita di teras rumah.

"Yaudah. Tapi kamu yang ngasih ya, saya nggak kenal."

Januar menghembuskan nafasnya panjang. "Ndak bisa, harus kamu. Sapa aja, pasti mereka membalas ramah kok. Dibiasakan. Biar kamu bisa membaur sama warga sini."

Sekar terlihat ragu meski ia membenarkan perkataan lelaki itu. Sekar sudah menjadi warga desa ini, setidaknya ia harus berkenalan dengan tetangganya, bukan?

"Yaudah. Saya ke mereka ya," pamitnya.

Januar mengangguk. Ia tak langsung masuk ke dalam rumah, tetapi memperhatikan interaksi Sekar dengan beberapa warga. Wanita itu tersenyum ramah, meski diselimuti kecanggungan.

Entah untuk yang keberapa kali, senyuman tipis membingkai wajah Januar pagi itu.

***

"Oalah iki toh, ponakan'e pak Suryo. Ayu tenan." puji salah satu dari ketiga wanita disana.

Sekar hanya bisa tersenyum karena tidak terlalu paham dengan bahasa yang digunakan.

Latibule✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang