Bertahan atau runtuh?
Semua hanya tentang pilihan.•||•
Sudah sejak pagi, hujan mengguyur kota. Meski begitu tak ada yang berubah, pusat trauma masih selalu sibuk. Pasien masuk, pasien keluar, pasien cek up, berobat jalan, dan lainnya. Sesekali aku menghela nafas berat, merasa jenuh dengan berkas-berkas yang ada di hadapanku. Aku melirik ke arah luar ruang kerjaku. Dari pintu kaca itu, aku bisa melihat banyak orang yang berlalu lalang.
Sementara itu, rintik hujan terus berjatuhan. Bunyinya bak gemercik air di pegunungan, menenangkan juga menentramkan. Tetapi melihat punggungnya dari kejauhan, mendadak hatiku terusik oleh seseorang yang segala hal tentang dirinya, kini mulai memudar dari ingatanku. Aku lupa seperti apa wajah yang tertutup oleh masker itu? Aku lupa bagaimana suara parau yang penuh keputus-asaannya terdengar? Aku lupa, bagaimana tatapan mata coklatnya yang terlihat begitu lelah?
Aku hanya mengingat kita yang tidak baik-baik saja, dan bersembunyi di balik kata mencari udara segar sebagai sesuatu yang menghibur diri. Sekali lagi aku menatap punggung laki-laki itu, aku tak tahu apa yang dokter Alres pikirkan? Hanya saja caranya menatap hujan, membuat ku bertanya-tanya. Mungkinkah punggung yang tampak tegar itu, sebenarnya juga sedang menyembunyikan kerapuhan?
Tentu saja kita semua punya masalah, tak semua orang mendapatkan kehidupan yang indah. Aku memandang lembaran kertas di atas meja kerjaku, pikiranku kembali ke masa itu. Sejak pertemuan kita di rooftop, tentu saja aku menjadi lebih sering memperhatikannya. Gaun operasi berwarna hijau, juga tudung kepalanya. Menjadi sebuah petunjuk menemukan arah, untukku yang sedang berada di persimpangan jalan. Kondisi Ibu yang belum ada perubahan, berakhirnya hubunganku dan kak Tama, dan bangku perkuliahanku yang hampir gagal. Membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Saya tahu, kamu adalah orang yang paling banyak menjatuhkan air mata di tempat ini." Laki-laki bertopeng itu, kembali.
Kali ini dengan sorot mata yang lebih hidup, dia memberiku satu kotak minuman susu caramel. "Tapi kehidupan kamu tidak boleh runtuh!" Katanya.
Aku menggelengkan kepalaku, sambil menatap wajahnya yang masih sama tertutup masker. "Tembok yang kokoh sekalipun, bisa runtuh jika diterpa goncangan yang dahsyat. Lalu bagaimana bisa saya tidak runtuh?" Tanyaku yang sedang putus asa.
Dia berbalik, menatap lurus ke manik mataku. "Semua itu ada pada diri kamu, bertahan atau runtuh? Semua hanya tentang pilihan. Dan saya, saya ingin melihat kamu dengan versi yang berbeda di lain waktu!" Ungkapnya, yang terdengar seperti sebuah permintaan di telingaku.
🩺🩺🩺
"Re, Revana!" Hanin menepuk bahuku pelan.
"Mbak Hanin?" Kataku sedikit terkejut.
"Lo, sakit Re?" Tanyanya khawatir.
"Enggak kok Mbak."
"Syukur deh. Lo di cari sama dokter Tama, Re." Mendengar nama itu, aku menghela napas berat.
Aku sudah memaafkan semuanya, tetapi untuk melupakan rasa sakitnya itu bukan proses yang mudah. Apalagi perjalanan kisahku bersamanya terbilang panjang, aku menghabiskan masa remajaku dengan terus berada disisinya. Dan sangat menyakitkan ketika aku tahu, dia hanya menjadikanku salah satu pilihan. Saat keadaanku terpuruk, disaat aku membutuhkan dukungan. Disaat itu juga, dia justru mendorongku ke tebing jurang.
"Re, aku sudah mengurus surat cerai itu." Sambut kak Tama, ketika kakiku baru saja memasuki ruang kerjanya.
"Ternyata kamu sama sekali belum berubah ya kak!" Kataku tak berniat meneruskan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor & I; Eccedentesiast
RomanceSejak kecil Revanna sudah mengalami kehidupan yang berat, Ayahnya yang pergi dari rumah tiba-tiba kembali dengan membawa istri serta anaknya. Entah sudah berapa lama perselingkuhan itu, yang Reva tahu ibunya benar-benar setegar karang. Namun, tentu...