Sisi terlemah kamu, adalah alasan kenapa saya ada.
•||•
"Entah apa yang membuatmu hancur Re, saya tidak akan bertanya. Lain kali kamu patah hati, I always be here. Re." Dok Ares, berbisik sambil menepuk-nepuk bahuku. Menenangkan.
Namun entah kenapa, tangisku justru menjadi semakin kencang. Rasanya bahuku pun sampai ikut berguncang. Kesedihan dan rasa sakit yang selama ini terus ku pendam, seakan meledak. Laki-laki di dalam pelukanku ini seolah meruntuhkan benteng yang ku bangun, menunjukkan sisi terlemah yang ku punya.
Kenyataannya aku tidak sekuat itu, aku hanya perlu seseorang yang mau menyambut ku dengan kedua tangannya. Tulus.
"Revanna. Hey!" Dokter Ares melepas pelukannya.
"Look at me, Re!" Kedua tangannya menopang wajahku.
"Saya tidak melarang kamu untuk menangis, kapan pun jika itu bisa mengurangi rasa sakit hati kamu. Menangislah, Re!" Dia berkata sambil menghapus air mataku.
"Saya disini, dan akan selalu memeluk kamu seperti ini." Aku menghela napas panjang.
Aku ingin percaya, namun aku takut kembali dikecewakan. Aku ingin tak bergantung padanya, tetapi aku tidak bisa berbohong aku membutuhkannya.
"Kita adalah alasan satu sama lain Re, maka dari itu saya ingin kita berjalan bersama dalam waktu yang lama."
"Selamanya itu akan jadi terlalu lama buat kamu Mas, bahkan saya enggak tahu sampai kapan saya akan selalu menunjukkan sisi terlemah saya?"
"Itu bukan alasan untuk kamu menyerah terhadap perasaan kamu Re, sisi terlemah kamu adalah alasan kenapa saya ada." Ungkap Mas Alres tulus.
Berhasil merebut seluruh sadar ku, terdiam, mematung tanpa kata. Itu yang ku tunjukkan untuk menjawab ketulusan Mas Alres, mungkin karena terlalu sering merasakan sakit. Aku sampai lupa bagaimana caranya membalas sikap manis seseorang.
"It's okay, I feel you Re. Jangan menjadikan kehadiran saya sebagai beban."
Aku menggeleng lemah, "You are my angel, Mas. Enggak mungkin saya menganggap kamu sebagai beban." Aku mengusap air mataku.
"Saya bahagia kamu ada." Lanjutku. Dia tersenyum.
🩺🩺🩺
Aku termenung, sambil menatap Albian yang tertidur pulas disamping ku. Mas Alres tidak pernah tahu apapun yang melatar belakangi kesedihanku. Dia hanya mengerti aku terluka, dan bersedia untuk mengobatinya.
Tetapi meski begitu, Mas Alres tentu tidak menutup telinga tentang rumor yang beredar di seluruh penjuru pusat trauma. Tentang aku si residen payah namun tetap gila bekerja, tentang aku mantan pacar sang dokter spesialis saraf yang sekarang malah menjadi kakak iparnya, dan juga tentang aku yang mereka anggap sebagai anak tak tahu diri karena bersikap kasar pada ayah kandungnya sendiri.
Aku merasa terganggu dengan semua hal itu, tetapi dia justru sama sekali tidak terlihat merasa terganggu. Hubunganku dan Mas Alres baru berusia seumur jagung, kami juga masih merahasiakannya. Namun, jika suatu hari Mas Alres ingin hubungan ini menjadi lebih serius, bagaimana aku akan menjelaskan tentang semuanya?
Apa Mas Alres tidak akan keberatan jika dia tahu anak ini, adalah darah daging orang-orang yang selama ini membuat hidupku menderita. Karena apapun alasannya aku tidak ingin bayi kecil ini memiliki dunia yang tidak pernah mengharapkan kehadirannya.
Mas Alres orang yang baik, dia sangat baik kepadaku. Aku tidak ingin membawanya merasakan kepedihanku. Aku tidak ingin menjadi egois, sebab dibalik sisi lemah ku. Apa yang Mas Alres pernah alami juga tidak kalah menyakitkan. Aku juga ingin memeluknya, aku juga ingin menggenggam erat tangannya. Aku juga ingin mengatakan perasaanku dengan jujur.
Maka dari itu tanpa berpikir, aku segera berlari, menghampirinya tanpa memperdulikan cuaca diluar sedang di guyur hujan deras. Aku tidak takut kedinginan, aku tidak takut malam yang gelap. Aku hanya takut kehilangan orang yang ku sayangi (lagi). Aku pernah kehilangannya sejenak, dan aku tidak ingin kehilangannya lagi dalam waktu yang lama.
"Mas Alres!" Teriakku setelah memarkirkan mobil, membuatnya menoleh.
Dan yang ku lakukan selanjutnya adalah, berlari ke pelukannya. "Kita adalah alasan satu sama lain Re, maka dari itu saya ingin kita berjalan bersama dalam waktu yang lama." Perkataannya terus terngiang, aku merasa bersalah karena belum menjawabnya. Karena itu malam ini, aku akan memastikan aku akan menjawabnya dengan penuh keyakinan.
"Ayo! kita berjalan bersama dalam waktu yang lama, Mas." Dia terdiam, merasa aneh dengan sikapku.
"Ayo! terus saling menggenggam erat, tanpa melepaskan satu sama lain." Suaraku kembali bergetar, bukan karena dingin tetapi karena perasaanku yang berkecamuk.
"Ayo! Kita sembuh bersama. Jika sisi terlemah saya yang menjadi alasan kamu ada. Maka saya juga ingin menjadi alasan kamu bahagia." Aku menatap matanya, yang berkaca-kaca.
"Ayo! Kita bahagia bersama Mas." Pelukku.
"Ayo! Kita lakukan semua yang terbaik Re. Saya tidak akan pernah menyerah demi kebahagiaan kamu, karena itu kamu juga tidak boleh menyerah." Katanya.
Aku mengangguk, biarkan hujan dan pusat trauma yang menjadi saksi kita yang saling menaruh harap dan janji. Jujur saja rasa takutku akan cinta, masih selalu ada. Tetapi untuk kali ini saja aku ingin percaya, kalau hatiku tidak salah memilih. Karena setiap keputusan yang kita ambil, setiap cinta yang kita berikan akan selalu memiliki risiko. Untuk kali ini saja selain mempercayai hatiku, aku juga ingin mempercayainya.
•||•
Di duniaku yang semuanya hampir terasa tidak mungkin, bertemu dengannya membuat ku percaya penerimaan yang tulus itu ada.
~Revanna Mentari ~
Bersambung....
23 Juni 2023
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak (⭐) dan temui aku di Instagram. Caranya gampang banget tinggal ketik @jjustfie_ aja, disana kalian bisa dapet update ceritanya dan juga melihat beberapa karya sederhanaku lainnnya.
Terimakasih 🌹
Revisi 24 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor & I; Eccedentesiast
Roman d'amourSejak kecil Revanna sudah mengalami kehidupan yang berat, Ayahnya yang pergi dari rumah tiba-tiba kembali dengan membawa istri serta anaknya. Entah sudah berapa lama perselingkuhan itu, yang Reva tahu ibunya benar-benar setegar karang. Namun, tentu...