Nona Muda

299 28 0
                                    

Menyembunyikan diri terkadang rasanya akan lebih baik, namun menunjukkan siapa kamu sebenarnya juga bukan hal yang buruk.

•||•

Sudah hampir beberapa hari, hujan mengguyur kota. Artinya juga, sudah beberapa hari Revanna terbaring di rumah sakit. Peringatan banjir dibeberapa titik, juga sudah disebar. Namun, itu tidak menyurutkan tekat Reva untuk menerobos jalanan, bahkan dengan kaki tanpa ber-alaskan sendal, juga tanpa tubuh yang terlindungi payung.

Taxi yang dia tumpangi juga terpaksa berhenti di tengah perjalanan, karena macet yang mengular. Waktunya tidak lagi banyak, dia harus sampai di Bandara sesegera mungkin. Seharusnya saat ini Reva melakukan pemeriksaan terakhir, untuk mendapatkan surat bebas rawat inap. Tetapi kabar yang disampaikan oleh si mbok, membuat jantungnya seolah luruh ke dasar perut.

"Non, bapak menjual rumah ibu. Dan sekarang dalam perjalanan ke Bandara. Beliau mau ke luar negeri, Non."

Terakhir perdebatan mereka hanyalah tentang pengalihan hak milik, Reva tidak pernah menyangka jika Surya akan senekat itu menjual rumah peninggalan ibu tanpa se-izinnya.

"Pa," Reva bekata lirih, dia berhenti mengamati orang-orang yang berlalu lalang.

Bayangannya tentang seorang ayah yang memeluknya erat, karena berhasil tumbuh menjadi putri yang dewasa dan mandiri. Juga ucapan selamat yang hangat saat nanti dia menjadi seorang dokter spesialis bedah umum, seketika sirna. Surya bukanlah papa yang seperti Revanna harapkan.

Reva melanjutkan langkah, seperti orang yang kehilangan arah. Dia takut, dia cemas, dia juga bingung. Rasanya baru kemarin dia merasa hidupnya berguna, hidupnya adalah harapan bagi seseorang. Hatinya yang baik, bak malaikat membuatnya dikelilingi cinta. Namun, kenapa papa nya sendiri tidak pernah menganggapnya seperti itu?

Orang-orang tampak memandang Revanna aneh, air tampak menetes dari baju rumah sakit yang ia pakai. Mereka berpikir, mungkin Revanna pasien yang kabur. Dan tanpa mereka ketahui, memang seperti itulah kenyataannya. Reva terus berjalan sampai akhirnya surya tampak dimatanya.

"PAPA!" Teriak Revana, laki-laki itu menoleh dengan wajah yang angkuh. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran, padahal putrinya terlihat mengkhawatirkan.

"Kenapa pa? Kenapa papa seperti ini?" Ucap Reva lirih, bibirnya pucat. Tubuhnya sedikit bergetar menahan tangis, juga dingin.

"Kenapa? Seperti yang kamu katakan, saya bukan papa kamu." Ungkap Surya, mengingat perkataan Reva ketika itu.

"Oh, enggak!" Surya meralat kata-katanya. "Maksud saya, saya memang tidak pernah menganggap kamu anak." Ayah macam apa, yang tega berkata sekejam ini?

"Kalau papa tidak menganggap aku anak, kenapa aku ada pa? Aku enggak pernah minta dilahirkan ke dunia, harusnya papa enggak menyiksa aku sep—"

"Karena ibu kamu." Potong Surya, membuat gadis itu terdiam.

"Seandainya Arumi mendengarkan saya untuk menggugurkan kamu, kamu tidak akan lahir. Saya tidak akan berselingkuh, dia tidak akan kehilangan saya. Dan kamu tidak akan menderita." Surya berkata penuh penekanan,

"Aku bisa terima, kalau papa selingkuh karena udah enggak cinta sama ibu. Tapi aku? Karena aku, apa salah aku sampai papa membenci aku bahkan sebelum aku lahir pa?" Reva bercucur air mata, tak lagi sanggup membendung.

"Karena kamu hadir!" Singkat, padat, dan jelas. Surya memang tidak pernah mengharapkan kehadiran gadis di hadapannya.

"Arumi sangat mencintai saya, saya pikir mudah mengaturnya. Dia bahkan meninggalkan orang tuanya yang kaya demi saya, jika saya merelakan kehidupan saya untuk tinggal bersama perempuan yang saya cintai karena hartanya. Mungkin kehidupan saya akan mudah, tapi sayangnya kamu hadir. Kamu menghancurkan rencana yang sudah saya siapkan. Saya membenci kamu, karena kamu tidak ada dalam rencana saya." Reva terdiam, dia tidak pernah menyangka jika Surya lebih bejat dari yang dia pikirkan.

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang