Trauma Center

934 50 2
                                    

Rasa kesalku, tak sebanding dengan rasa sesalku.

•||•

"Menurut lo, arti hidup itu apa sih Re?" Hanin, kepala perawat sekaligus rekan jagaku bertanya.

"Honestly, the meaning of life isn't an easy question to answer sih mbak. Tapi, yang gue tahu; Penelitian sendiri menyatakan bahwa manusia memiliki konseptualisasi yang beda tujuan hidup, di seluruh umur."

"Terus gimana sama tujuan hidup lo, diumur yang sekarang ini?" Hanin menatapku, penasaran.

"Bukan apa-apa sih Re, seperti yang lo tahu aja di pusat trauma ini kita harus kuat iman. Karena kalau enggak, mungkin dihari pertama gue tugas disini, gue udah nyerah dan milih buat kabur." Kata Hanin dengan sorot matanya yang sendu.

"O...ya?" Tanggap ku setengah terkejut.

Melihat bagaimana keseharian mbak Hanin yang merawat pasien dengan penuh cinta, rasanya hampir tidak mungkin niat itu pernah terbesit dihatinya. Seperti namanya, Trauma center. Tempat ini merupakan fasilitas yang disediakan oleh pusat layanan kesehatan, guna menangani pasien khusus yang mengalami trauma atau kecelakaan selama dua puluh empat jam tanpa henti.

"Iya makanya, selagi lo masih muda. Lo pikir-pikir lagi deh Re, lo hanya mau menyelesaikan Residensi lo aja,  atau lo mau mendedikasikan sepanjang usia lo disini?"

Pertanyaan itu membuatku termenung, teriakan "Pasien datang!" disertai kedatangan rombongan regu penyelamat yang mendorong bed pasien dengan terburu-buru, adalah pemandangan yang harus kami saksikan setiap harinya. Berpacu dengan waktu dan bertarung dengan nyawa pasien, adalah tanggung jawab yang sangat besar. Karena itu, untuk bertahan disini tidak hanya memerlukan skill yang luar biasa tetapi juga harus memiliki keimanan dan kesabaran yang tanpa batas.

Dan memikirkan bagaimana tujuan hidupku ke depan, menurutku hanya akan menambah daftar panjang kehidupanku yang menyedihkan. Tentu saja aku mendambakan masa depan yang indah, hanya saja saat ini aku sedang enggan untuk berpikir terlalu jauh. Bagiku bisa menjalani apa yang ada didepan mata saja sudah lebih dari cukup.

🩺🩺🩺

"Dok, sistolnya enam puluh. Sebentar lagi tekanan darahnya tidak bisa dideteksi."

Rasanya baru sebentar aku dan Hanin berbincang santai, tapi sekarang dia sudah teriak-teriak panik ditelingaku. Karena pasien yang datang dengan luka tusukan di perut sebelah kirinya, mulai kehilangan kesadaran.

"Lakukan Intubasi trakea dan setelahnya kita lakukan CT-Scan." Intruksi laki-laki itu, tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.

Dia tiba-tiba saja datang, memasuki ruang gawat darurat yang sesak ini, Membuatku menghela napas berat, dan disaat-saat seperti inilah keimanan juga kesabaran ku benar-benar akan diuji. Aku harus fokus dan tenang, tetapi rasanya aku tidak akan bisa berpikir jika yang kulihat adalah wajahnya. Wajah laki-laki yang menciptakan trauma berkepanjangan di kehidupkanku, laki-laki yang mengkhianati tulus ku. Dia Tama, mantan tunanganku sekaligus menjadi Konsulen ku di pusat trauma. Dan saat aku mengetahui itu untuk pertama kalinya, aku benar-benar ingin segera melarikan diri.

"Maaf, wali pasien harap menunggu diluar!" Cegah Hanin, membuat ku menoleh penasaran.

Seorang laki-laki, berbadan tegap. Dengan alis mata yang bertaut, dan sorot bola mata coklatnya yang tajam. Tiba-tiba memasuki ruang gawat darurat, kehadirannya seketika merebut perhatianku. Melupakan sakit hatiku terhadap Tama, dan kini aku mulai sibuk memperhatikan setiap inci tubuhnya.

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang