Awal yang baru, tentang; Kenangan dan masa depan yang ku
khawatirkan.•||•
Waktu terus berlalu dengan cepat, tahun terus berganti. Artinya hari-hari ku tanpa kehadiran ibu juga, terus bertambah. Aku bisa merasakan melalui rumah ini yang kian tampak usang, juga beberapa tembok tampak mulai runtuh akibat permukaan tanah yang begeser.
Seperti aku, rumah ini juga menderita. Tetapi syukurlah, semuanya sudah berakhir. Mulai hari ini akan ku pastikan rumah ibu hanya akan menyimpan kenangan dan perjalanan yang indah, tentang aku dan ibu. Juga tentang kehidupanku selanjutnya. Aku akan menjaga rumah ini sebaik mungkin, sebagai bentuk rasa cintaku kepada ibu.
Aku juga berjanji, akan menjalani kehidupan ku dengan baik. Menyelesaikan Residensi ku dengan nilai yang memuaskan, dan menyandang gelar dokter spesialis bedah umum yang melayani dari hati. Aku mungkin, tidak tahu jalan kedepan akan seperti apa? Tetapi aku akan pastikan, diriku yang sekarang akan jadi lebih kuat, akan jadi lebih bahagia. Aku akan memulai hari ini sebagai awal yang baru. Awal yang tidak akan akan pernah ku akhiri dengan sia-sia.
"Non, pak dokter telpon katanya den Albi masih dirumah bu Arini." Suara mbok, menyadarkan lamunanku.
"Oh iya mbok, ntar sore Re jemput kesana." Jawabku yang tak ingin mengalihkan pandanganku dari rumah ibu yang bergaya classic, desain arsitektur yang jarang ditemui di era minimalis ini.
Berbeda dariku, jiwa seni mengalir kental di dalam darah ibu. Dia handal memain biola, tangannya terambil membuat berbagai macam karya. Lukisan, macrame, juga desain. Selain rumah dan mobil, ibu juga meninggalkan butik sebagai sumber penghasilanku untuk biaya hidup, biaya kebutuhan sekolah, dan sedikit tabungan masa depan Albian.
Karena itu juga aku sering merasa kelelahan, selain mengurusi pasien. Aku juga berkutat untuk menciptakan desain-desain baru yang akan di pamerkan di butik sebagai event calendar. Juga harus terus memikirkan strategi marketing untuk meningkatkan penjualan. Aku sama sekali tak handal dalam menggambar, hanya mewarisi sedikit keahlian ibu. Aku juga lebih suka memegang jarum suntik ketimbang pensil warna atau pun stylus pen.
Kakek memang pengusaha terkaya, yang tercatat di dalam majalah popular. Tetapi aku juga cukup tahu diri untuk menumpang hidup dari kakek, yang cucunya lahir dengan ayahnya yang seorang bajingan yang tidak pernah kakek harapkan. Yang dengan terpaksa membuat seseorang ayah merelakan putri tunggalnya, hidup melarat dengan suami beban seperti si brengsek itu. Anggap saja saat itu nasib ibu sedang tidak beruntung. Dan mengetahui dia tidak pernah menganggap aku sebagai anak, aku sangat bersyukur. Karena aku tidak perlu merasa berdosa saat membencinya.
"Kalau gitu Re berangkat ya mbok, titip rumah nanti ada pak tukang yang datang untuk renovasi." Jelasku, sebelum pamit.
🩺🩺🩺
Aku melirik jam di tangan, pukul enam empat lima. Masih tersisa lima belas menit sebelum mas Alres berganti shift pulang. Aku akan mampir ke coffe shop untuk membelinya beberapa roti dan minuman untuk sarapan. Dia pasti sangat lelah, trauma itu memaksanya menjadi orang yang perfeksionis. Namun alih-alih sempurna, aku justru merasa dia terlalu memaksakan dirinya.
"Mas Alres!" Panggilku, membuatnya menoleh. Senyuman tampak dari wajahnya yang lelah.
"Mas, are you oke?" Tanyaku panik, sambil memegang keningnya yang terasa panas.
"Kamu demam, mas." Dia menggeleng cepat, dan menyingkirkan tanganku dari keningnya.
"Saya baik-baik aja. Kamu segera ke IGD, sebentar lagi pengarahan." Instruksinya, aku mengangguk lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor & I; Eccedentesiast
Roman d'amourSejak kecil Revanna sudah mengalami kehidupan yang berat, Ayahnya yang pergi dari rumah tiba-tiba kembali dengan membawa istri serta anaknya. Entah sudah berapa lama perselingkuhan itu, yang Reva tahu ibunya benar-benar setegar karang. Namun, tentu...