Filosofi Teratai

271 21 2
                                    

Nanti aku juga ingin, melihat keanggunan kita yang indah seperti teratai.

•||•

Sejak kemarin aku belum sempat bertemu mas Alres saking sibuknya, dia juga entah kenapa malah tampak menghindari ku. Contohnya saja rekam medis yang ada ditanganku; "Re ini rekam medis pasien dengan riwayat jatung, dok Ares titip buat lo. Tolong segera dipelajari, dan setelahnya cepetan balikin ke dokter Wisnu ya!" Itu ucapan mbak Hanin lima belas menit yang lalu.

Aku melangkah dengan wajah lesu, sambil menatap layar ponselku. Tidak ada notifikasi dari mas Alres, membuatku berdecak kesal. Ruangan dokter Wisnu yang seharusnya bisa ditempuh hanya dengan sepuluh langkah, rasanya sangat jauh. Hingga akhirnya tanpa sengaja aku ber pas-pasan dengan mas Ares di bangsal Interna. Wajah yang ku nantikan sejak kemarin tampak di depan mata, tentu saja aku menyambutnya dengan senyum yang bahagia. Tetapi mas Alres sepertinya tidak begitu, wajahnya ditekuk sama sekali tidak bersahabat.

"Ikut saya ke OK!" Belum sempat aku membuka mulut, mas Alres menarik tanganku dengan ekspresinya yang datar.

"Ta-tapi, dok?" Mas Alres tidak mendengarkan ku, lalu bagaimana dengan rekam medis pasien yang ada di tanganku?

Aku terus berjalan mengikuti langkahnya, sesampainya di OK aku disuguhi dengan Suture pad kit yang tertata rapi di atas bed pasien. Aku menatapnya dengan pandangan penuh tanya, tetapi lagi-lagi aku mendapati mas Alres menatapku dengan tatapan yang datar.

"Mulai hari ini, saya akan menambah jam belajar kamu. Pastikan kamu mempersiapkan diri kamu untuk mendampingi saya di ruang operasi!" Aku menarik napas dalam, mendengar ucapannya yang dipenuhi penekanan.

Dan ini bukan pertama kalinya aku dan mas Alres terlibat situasi yang tidak mengenakkan. Juga bukan pertama kalinya aku mendapati sikapnya yang dingin seperti ini. Caranya mengungkapkan sesuatu selalu sesuai dengan isi hatinya, dia orang yang jujur meski terkesan blak-blakan. Aku bisa memahaminya, aku bisa mengerti tujuannya; Tentu hanya demi kebaikanku.

Tetapi disisi lain, aku juga mengenal mas Alres jauh lebih baik dari siapapun. Karena itu aku meyakini satu hal; Tentu ada alasan, yang tidak ku ketahui dari sikapnya hari ini. Wajahnya yang resah, tatapan matanya gelisah. Aku tahu laki-laki ini, menyimpan sesuatu yang membuat hatinya merasa gundah.

Aku meletakkan rekam medis pasien yang ku bawa di atas bed, lalu meraih kedua tangan laki-laki di hadapanku ini dengan hati-hati. Aku menarik napas dalam, menatap matanya dengan lekat.

"Mas, It's me Revanna Mentari. I'm yours, and you are my favorite human. So, I will tell you...I promise, I will do my best. Don't worry about everything, Even if I have to study until my hand hurts, I will still do it. Karena aku, pasti dan akan menjadi seorang dokter. I promise mas!"

Akhirnya mas Alres menarik napas gusar, perlahan dia menarik tangannya dariku. "Tolong kerjakan tugas kamu dengan baik, saya akan kembali untuk memeriksanya nanti!" Ucap mas Alres, bicaranya sedikit lebih hangat ketimbang tadi. Aku hanya mengangguk, sambil memperhatikan punggungnya yang mulai menjauh.

Kini mataku tertuju ke arah Suture pad kit, di hadapanku. Bantalan silikon yang biasa ku gunakan untuk berlatih menjahit. Aku benar-benar lemah dalam hal jahit-menjahit, setiap kali aku menusukkan jarum di kulit pasien, detik itu juga tubuhku terasa gemetaran.

Di atas bantalan silikon ini, mungkin sekilas jahitan ku tampak rapi. Bahkan aku juga menguasai berbagai macam tipe jahitan, tetapi praktiknya aku tak pernah sebaik ini. Untuk mundur pun rasanya bukan sesuatu yang mudah, bahkan jika aku berhasil mundur pun itu tidak membuatku merasa lebih baik. Justru, yang tersisa hanya penyesalan yang mungkin akan menghantuiku sepanjang hidup.

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang