Pengakuan

442 28 0
                                    

Pada akhirnya aku mengakui perasaanku.

•||•

Di hari itu aku yang baru saja terlelap, harus kembali terbangun. Karena sebuah kecelakaan lalu lintas yang membuat pusat trauma menjadi riuh.

"Hanin, bagaimana kecelakaan bisa terjadi?" Dokter Ares yang datang terburu-buru langsung menghampiriku dan mbak Hanin, menanyakan kronologi kecelakaan yang terjadi.

" Sebuah truk menabrak mobil sedan dan menyebabkan kendaraan di depannya juga ikut tertabrak." Mbak Hanin kemudian membuka ponselnya.

"Sejauh ini terdapat empat pasien, tiga mengalami koma. Sementara supir truk sendiri mengalami luka ringan."

"Baiklah, minta dokter Residen juga para koas yang sedang kosong untuk bersiap!" Perintah dokter Alres yang disambut anggukan oleh mbak Hanin.

Tak lama setelah itu, regu penyelamat datang dengan mendorong bed dimana pasien terbaring tak berdaya diatasnya.

"Dok, pasien mengalami pembengkakan di perutnya." Aku menatap dokter Ares, yang selalu terlihat tegar di situasi apapun.

"Sepertinya pendarahan diperutnya lumayan parah." Katanya sambil melihat ke arahku.

"Re, tolong siapkan ruang operasi. Setelah memberikan pertolongan pertama pasien lain, saya akan segera menyusul." Lanjutnya.

"Baik dok!" Tanpa ragu aku segera bergegas.

Setelah mengamankan saluran pernapasan pasien dan memastikan pasien sudah di anastesi, aku menunggu dokter Ares dengan cemas. Entah sampai kapan, aku akan selalu berperang dengan rasa cemasku saat akan mengoperasi pasien?

"Re, bagaimana dengan pasien?" Dokter Ares akhirnya tiba.

"Pasien sudah menghabiskan empat kantong darah, dan operasi harus segera dilakukan dok."

"Baikalah, mari kita lakukan sekarang!"

Langkahku tertahan, meski sebenarnya inilah yang selalu ku nantikan. Berdiri disisinya, dan merasa layak untuk mengaguminya. Namun kenyataannya, aku dikalahkan oleh rasa takutku sendiri.

"Revanna!" Dia memanggilku.

"Ini kesempatan terakhir yang saya berikan, jika kamu bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang dokter maka lakukan dengan benar. Tetapi jika tidak, lepaskan snelli itu dan pergilah layaknya seorang pecundang!"

Dia mengatakan itu, dengan tatapan dingin yang tak bisa di tembus oleh apapun. Dadaku sesak, aku tak bisa berkata apapun. Selain air mataku yang ingin menetes, menatap punggungnya yang semakin menjauh dariku.

"Pecundang?" Teriakku, membuatnya menghentikan langkah.

"Dokter tidak berhak menghakimi saya, tanpa tahu apa yang sudah saya lewati untuk berada dititik ini." Kataku dengan nada yang sedikit tinggi, dadaku terasa bergemuruh didalam sana.

"Karena itu, setidaknya buktikanlah kalau kamu bukan pecundang!" Jawabnya bahkan tanpa berniat melihat ke arahku.

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang