Tentang Albian

304 22 4
                                    

Kita tidak bisa memilih takdir kita kedepannya akan seperti apa, tetapi kita masih bisa memintanya melalui do'a.

•||•

Hari hampir tengah malam, lorong-lorong bangsal tampak sepi.
Beberapa dokter dan perawat tampak berseliweran; Ada yang mengganti cairan infus, memberi suntikan obat, dan ada juga yang hanya berkeliling memastikan pasien-pasien dapat beristirahat dengan nyaman. Berbeda halnya dengan IGD pusat trauma yang tak pernah sepi, dua puluh empat jam menangani pasien cedera trauma. Entah itu cedera karena kecelakaan kerja, cedera yang tidak di sengaja, atau bahkan cedera yang disengaja. Tidak terkecuali dengan Reva, cederanya diakibat oleh kesengajaan seseorang.

Meninggalkan Rueben yang berusaha menenangkan putranya, maka disinilah Irwan yang justru ditarik paksa oleh sang putra untuk menjauh. "Lu kenapa ngelarang papa buat bicara yang sebenarnya, sama koko lu?" Sesal Irwan karena harus menyembunyikan kebenaran.

"Pa, apa papa lupa kejadian tiga tahun lalu? Wa, harap papa masih mengingatnya dengan baik!" Delva menatap sang Papa lekat.

"Kejadian itu cukup membuat ko Alres menderita, cacian, hinaan, dan sorak gembira orang-orang yang memang menginginkan koko jatuh. Membuat ko Alres bahkan hampir putus asa Pa. Karena itu sebisa mungkin, kita harus menjaga perasaan dan pikiran koko sebelum dia masuk ke ruang operasi." Irwan mengangguk paham.

"Menyadari Reva, pasien yang akan koko operasi, itu saja sudah membuat koko merasa terguncang. Apalagi jika dia mendengar bahwa pelaku bajingan itu teman sejawatnya, entah akan seperti apa perasaan koko pa?" Delva mengalihkan pandangannya, mengamati lorong yang kosong.

"Papa juga mengenal Reva dengan sangat baik, dia sahabat wa di bangku SMA. Saat anak-anak lain melewati masa remaja penuh warna, Reva justru menghabiskan banyak waktunya di belakang gedung pertemuan sekolah, hanya untuk menangisi keluarganya yang hancur. Masa remaja Reva sulit pa. Tapi Reva justru menjadi satu-satunya orang yang mau berteman dengan wa, saat tidak satu orang pun percaya bahwa kasus yang menimpa papa pada saat itu hanyalah tuduhan palsu, tapi Reva percaya pa." Delva kembali menatap sang papa.

"Reva percaya pa, papa tidak bersalah. Reva percaya bahwa semua tuduhan itu tidak benar. Dan disisi lain ternyata Reva juga menyelamatkan kehidupan koko, dia juga mempercayai koko tidak bersalah. Padahal dia sendiri tidak menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi." Irwan menatap sang putra dengan mata berkaca-kaca, pada saat itu keluarganya memang mengalami masa-masa sulit akibat orang-orang yang menginginkan kejatuhannya.

Betapa dia bersyukur, putranya dapat bertemu gadis baik yang berhati malaikat itu, dan tak disangka gadis itu juga yang menyelamatkan kehidupan keponakannya.

"Kita beruntung," ujar Irwan, menepuk bahu Delva.

"Seandainya wa tahu, perempuan yang selalu ko Alres ceritakan itu Reva. Mungkin wa bisa mempertemukan mereka lebih cepat, pa." Delva tertunduk penuh penyesalan.

"Tapi ternyata, seperti ini takdir yang Allah pilih untuk mereka." Delva mengusap wajahnya gusar, perasaannya sungguh kacau

"Kita memang tidak bisa memilih akan seperti apa takdir kita kedepan, tapi kita bisa memintanya melalui do'a. Dan medoakan yang terbaik untuk mereka, itu menjadi tugas kita sekarang." Nasihat Irwan, yang dijawab anggukan oleh Delva.

"Pasti pa!"

🩺🩺🩺

"Pagi dok Ares!" Sapa Hanin, saat dia menemukan seseorang yang dia cari sejak tadi.

"Ini rekam medis post-op Reva." Hanin menyerahkan beberapa lembar kertas yang dia bawa.

"Sejauh ini stabil dok, Alhamdulillah tidak ada yang mengkhawatirkan. Tekanan darah dan paru-parunya mulai membaik."

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang