Mengkhawatirkannya

443 26 0
                                    

Jadi sebenarnya, siapa yang mengkhawatirkan siapa?

•||•

Cairan infus itu tampak menetes, seirama dengan jarum jam yang berputar setiap detiknya. Begitu juga tubuhku yang sejak tadi terus berputar-putar di atas kursi beroda ini, masih tak habis pikir dengan tindakan bodohku yang tak termaafkan.

"Bego banget sih Re! Dokter Ares-ku tersayang, masih punya muka lo ketemu sama dia?" Sejak tadi aku tidak henti-hentinya merutuki diri, dan menyesali tindakan cerobohku.

"Kenapa notes-nya bisa tertukar?" Renungku.

"Re, bisa bicara sebentar?" Kak Tama tiba-tiba datang, bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku hanya menoleh, melihatnya dengan tatapan malas.

"Ini," Dia menyerahkan sebuah map.

"Hasil mediasi ku bersama Karin, dia menolak untuk bercerai. Alasannya karena Albian, bahkan hak asuhnya saat ini ada di kamu. Karena itu, aku bisa menyanggahnya." Dia tersenyum, seolah-olah aku mendukungnya.

"Jadi–"

"Jadi tolong keluar dari ruangan saya, jika ini tidak ada hubungannya dengan pasien!" Aku memotong ucapannya dan mengusirnya dengan sangat tegas.

Aku tidak tahu harus memintanya dengan cara apa, atau berbicara dengan bahasa apa lagi agar dia mengerti bahwa; Sepanjang hidupku, aku tidak akan pernah menginginkan kehadirannya lagi.

"Revanna, apa sedalam itu rasa benci kamu terhadapku?" Dia mulai mengungkitnya lagi.

Bahkan bertanya seolah tanpa beban, bagaimana jika kita tukar saja posisinya. Aku yang mengandung anak, dari laki-laki lain saat menjadi tunangannya. Apa dia masih bisa bertanya seperti itu?

"Yang seharusnya kamu tanyakan bukan rasa benci saya, tapi sejahat apa perlakuan kamu terhadap saya?" Sejujurnya aku sudah muak.

"Aku akan menebus semuanya," Dia masih tetap berusaha meyakinkanku.

"Dengan cara menceraikan Karin?" Tanyaku.

"Saya pikir menyakiti saya saja sudah cukup! Berapa banyak lagi rasa sakit yang kamu butuhkan, untuk kehidupan kamu yang menyedihkan?"

Kak Tama tertunduk, untuk kali ini saja aku mengharapkan keputus-asaan seseorang. Aku harap dia putus asa untuk mengejarku, mungkin aku pernah mencintainya dengan sangat tulus. Bahkan lebih tulus dari apa yang pernah dia berikan, namun bukan berarti kali ini  pun begitu. Kini aku hanya berusaha menutup mata dan telinga, mencoba menghilangkan rasa traumaku. Saat setiap hari aku harus dengan terpaksa menemuinya disini, melapangkan hatiku juga untuk menerima kehadiran Albian disisiku.

Mbak Hanin bilang, aku seperti malaikat. Bagaimana aku bisa merawat seorang anak, dari hasil perselingkuhan kekasih dan adik tiriku sendiri? Namun, kenyataannya aku bukan malaikat. Aku tidak bersayap, aku tidak bisa terbang jauh. Selain terus terjebak dijalan buntu, yang membuatku tidak bisa berjalan. Akhirnya hanya aku dan kehidupanku yang menyedihkan. Lagi dan lagi, air mata yang berusaha ku sembunyikan jatuh, membentuk genangan. Memperlihatkan seberapa pilunya perasaanku, yang terus berharap ini akan segera berakhir.

"Ku pasrahkan semuanya padamu, wahai Rabb-ku."

🩺🩺🩺

"Kenapa lagi dia?" Mbak Hanin yang menyadari kekacauan antara aku dan kak Tama, tentu akan selalu menaruh curiga setiap kali melihatnya menemui ku.

Aku tersenyum, "Enggak perlu dijelasin, elo kan selalu jadi yang paling tahu hanya dengan melihat ekspresi muka gue mbak." Kataku sedikit tersenyum.

Doctor & I; EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang