20: Melepaskan [REVISI]

67 24 21
                                    

  Sore itu begitu cerah dan menyejukkan dengan semilir angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Sesekali perempuan itu membenarkan rambut yang menutupi wajah cantiknya. Senyum cerah terpatri diwajah itu, sesekali ia bersenandung setiap langkah menuju ke suatu tempat.

  Langkah kaki itu telah tiba pada sebuah tempat untuk peristirahatan seseorang yang telah pergi selamanya. Sebuah gundukan tanah dengan nisan bertuliskan seseorang yang dia sayangi terlihat. Gadis itu berjalan mendekat, dan meletakkan buket mawar disamping nisan itu.

"Halo bunda hari ini Anes datang lagi karena Anes rindu bunda. Bunda juga rindu Anes, gak?" ucapan perempuan itu terdengar mustahil.

  Namun, hanya itulah yang dapat dia katakan untuk mengurangi kerinduan yang begitu berat.

"Bunda tahu? semuanya telah berbeda. Ayah sudah menikah lagi dengan seseorang bahkan Anes sendiri tidak tahu, dan ternyata orang yang ayah nikahi adalah bunda dari teman Anes."

"Anes bingung haruskah aku menerima kedatangan mereka? menurut bunda gimana?" tanya Mentari, kedua mata coklat legam itu menatap nisan didepannya. Iris mata itu mulai mengeluarkan buliran air mata yang mulai membasahi pipinya.

°°°

  Disisi lain terdapat sebuah sepeda motor yang masuk ke dalam kawasan itu. Terlihat seorang pria berseragam putih abu-abu. Dia berjalan begitu saja, seakan memang sudah hafal akan jalan itu.

  Setelah menemukannya, lelaki itu mulai mendudukkan tubuhnya di samping sebuah makam teman yang dulunya pernah mengisi masa lalunya.

"Hai gue kembali Nay..lo pasti bosan ya dengan kunjungan gue setiap hari?" tawa itu terdengar hambar.

"Tapi gue gak pernah bosan sekalipun, dia orang yang lo sukai datang lagi. Bahkan orang itu gak merasa bersalah sekalipun, salah lo sendiri kenapa bisa suka sama dia padahal ada gue yang lebih dulu suka sama lo." ucapan lelaki itu terhenti sejenak.

"Lama juga ya lo pergi, udah kehitung 4 tahun terakhir. Padahal lo udah janji sama gue bakalan sembuh dan pulang setelah lo berobat tapi ternyata pulang yang lo maksud pulang selamanya."

Flashback~

"Halo kenalin aku Bunga Kanaya, kamu bisa panggil Naya.."

"Revan kamu suka sunset gak?"

"Kamu kenapa diam aja, lagi sakit gigi yah?"

"Itu saudara kamu ya? jangan kasih tahu dia ya, kalau aku suka dia."

"Aku sakit, kata ayah dan ibu aku harus berobat jauh biar cepet sembuh."

"Jangan nangis, aku janji deh. Kalau aku udah sembuh aku akan pulang nemuin kamu dan kita bisa main lagi."

"Aku pamit pergi dulu ya, jangan sering berantem sama Zafran aku gak suka. Salam buat Zafran juga."

  Kilasan momen mereka bersama terlintas begitu saja, suara lembut dan tingkah lucu gadis itu terbayang menghantui isi kepalanya. Betapa berkesannya momen yang dulu mereka habiskan bersama.

 "Makasih udah pernah hadir di hidup gue, meskipun gak lama. Lo akan jadi teman terbaik sepanjang masa seperti yang lo katakan."

  Andai saja dulu Revan sempat mengutarakan perasaannya pada gadis itu walaupun sia-sia dikarenakan dia menyukai saudara sepupunya sendiri. Mungkin pemuda itu tidak akan memendam perasaan itu sendiri.

  Revan mulai bangun dari duduknya, lelaki itu berjalan pergi untuk pulang. Langkah kaki panjang itu membawanya di sebuah parkiran pemakaman, siluet gadis yang cukup dikenalnya terlihat tengah berjalan sendirian.

  Mentari berjalan dengan wajah yang di tundukkan kearah bawah, bagaimana perempuan itu bisa disini? pikir Revan.

"Mentari.." panggilnya.

  Suara itu terdengar lirih seperti bisikan angin. Pemilik nama itu menoleh kearahnya dengan wajah terkejutnya. Terlihat mata yang bengkak dengan sisa air mata yang membasahi wajah cantiknya.

'Dia menangis'

MENTARI [SEDANG DIREVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang