1. Awal Pertemuan Zafran [REVISI]

473 88 10
                                    

Malam yang dingin angin mulai berhembus melewati jendela kaca yang terbuka di sebuah kamar dengan lampu yang masih menyala menandakan pemilik kamar masih terjaga. Jam dinding telah menunjukkan waktu sepuluh malam namun, seorang gadis tak menghiraukannya. Ia masih tetap terdiam dengan kegiatannya memandang langit malam yang penuh akan bintang.

Hati itu tengah kacau perasaan penuh kerinduan akan sosok yang sangat dia sayangi. Tanpa sadar setetes bulir air mulai membasahi wajah cantik gadis itu. Seolah ikut merasakan tiba-tiba langit malam yang awalnya cerah kini kian mendung, bunyi rintikan kecil hujan mulai turun. Tangis gadis itu kian pecah.

"Maaf bunda Anes menangis untuk kesekian kali, Bunda apa kabar? Anes rindu." kata gadis itu, merasa hujan yang turun kian deras membuat dia akhirnya menutup jendela kamar dan mematikan lampu serta mulai beranjak untuk tidur dengan hati yang mulai tenang.

Malam itu bukanlah malam pertama bagi gadis itu untuk merindukan sosok bunda yang teramat ia sayangi. Gadis yang biasa ceria serta murah senyum namun disetiap malamnya dia berubah menjadi sosok yang kesepian, sesuai dengan namanya MENTARI ANESKA bak sinar Matahari yang selalu terang menyinari di pagi hari namun saat malam sinar itu akan digantikan dengan kegelapan malam.

°°°

Pagi yang cerah pun tiba, seorang gadis dengan seragam putih abu-abu tengah merapikan buku pelajaran yang akan dibawa untuk belajar di sekolah. Setelah selesai gadis itu keluar dari kamar tidurnya dan beranjak turun menuju dapur. Disana sudah ada seorang wanita paruh baya tengah sibuk menyiapkan makanan.

"Pagi bi Yati, bekal Mentari sudah siap, belum?"

"Pagi juga non Tari..sudah dong ini dia, bibi liat kayaknya ada yang sedang bergembira nih"

"Bibi bisa saja...mungkin karna tadi malam hujan jadinya tidur Mentari nyenyak banget karna denger suara hujan."

"Iya tadi malam hujannya deras banget, non Tari mau sarapan? biar bibi siapin roti sama susunya."

Mentari menggeleng cepat, "Enggak usah bi, Tari mau langsung berangkat aja. Aku pergi ya bi, makasih bekalnya."

"Iya non sama-sama, hati-hati di jalan."
Semenjak kepergian bunda Mentari sepuluh tahun lepas, bi Yati lah yang mengurus semua keperluan gadis itu, karna itulah bi Yati menyayangi Mentari seperti anaknya sendiri. Begitu pula dengan Mentari dia sudah mengganggap bi Yati merupakan bagian dari keluarganya.

Keluar pintu di halaman rumah terdapat pak Yadi selaku supir pribadi ayahnya yang sedang mengelap kaca mobil sedan milik ayahnya.

"Pagi pak Yadi..wah masih pagi sudah rajin aja." canda Mentari dengan kekehan.

"Pagi juga non, iya nih kalau ga rajin yang ada nanti bapak kena marah sama ayah non Mentari."

"Ya sudah pak lanjutkan kerjaannya, Mentari duluan ya pak."

"Mau bapak antar non?" tawar nya.

"Jangan pak, sebentar lagi ayah berangkat kerja yang ada nanti pak Yadi kena marah sama ayah." Rasa kasian mengingat putri majikannya selalu tak diberi perhatian semenjak mendiang istri tuannya pergi.

"Yowes...hati-hati di jalan ya non."

"Siap pak."

Hanya berjalan sekitar sepuluh menit Mentari untuk sampai di halte depan kompleks perumahan. Gadis itu tengah terduduk menunggu bus tujuannya tiba. Tak butuh waktu lama datanglah bus yang ia nantikan. Raut muka gadis itu cukup terkejut karna tahu ramainya penumpang di pagi ini. Padahal tujuan dia berangkat lebih pagi untuk menghindari ramainya penumpang namun, ya sudahlah apa boleh buat.

Netra gadis itu langsung menangkap dua kursi tidak ada seorang pun yang menempatkannya. Mentari langsung menempatkan dirinya di kursi samping kaca yang merupakan tempat favoritnya. Merasa bosan gadis itu mencoba mendengarkan musik lewat earphone yang dia sambungkan pada ponselnya. Alunan musik mengiringi perjalanannya, sesekali dia ikut melantunkan nada dengan memfokuskan pandangan matanya pada jalan raya yang mulai ramai pengendara.

Hingga ia tak sadar akan sosok lelaki jangkung yang berdiri dk sampingnya sedari tadi memanggil namanya. Merasa sebuah tepukan pelan pada bahu kirinya gadis itu menoleh dan mulai melepaskan earphone di telinganya.

"Maaf mengganggu, boleh saya duduk di sini? kursi lainnya sudah penuh."

"Oh iya silahkan kak, maaf ga lihat tadi."

"Makasih" lelaki jangkung itu langsung duduk di kursi kosong samping Mentari.

Suasana canggung mulai menyelimuti mereka, sesekali Mentari mencoba mengalihkan perhatian kepada jalanan ibu kota.

"Kalau boleh tahu, kamu sekolah dimana?" tanya lelaki itu mencoba memecahkan keheningan diantara mereka.

"Di SMA Nusa Bangsa, kak."

'Sama seperti Revan.' batin lelaki itu.

"Oh sekolah itu..ngomong-ngomong jangan panggil kak, kita seumuran."

Mentari terkejut lucu dengan gugup dia berkata, "Maaf aku kira tadi kita ga seumuran, oh iya kenalin aku Mentari Aneska..salam kenal."

"Zafran." kata Zafran dengan menjabat tangan Mentari.

Tak terasa bus yang mereka tumpangi telah berhenti di halte depan sekolah SMA Nusa Bangsa.

"Halo Zafran salam kenal..semoga kita bisa bertemu lagi, aku duluan." ucap Mentari berdiri dan mulai berjalan masuk ke arah gerbang sekolah hal itu tak lepas dari perhatian Zafran.

"Semoga kita bisa bertemu lagi." Zafran termangu saat senyuman yang di tunjukkan Mentari saat dia berkenalan dengan dirinya. Rasanya tak asing mirip dengan senyuman seseorang yang dulu pernah dia kenal. Tak munafik lelaki itu merasakan sebuah debaran yang tak biasanya, apakah dia cukup tertarik atau hanya menyukai cara gadis itu tersenyum?

MENTARI [SEDANG DIREVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang