3. Pertanyaan Jean

366 49 6
                                    

Lupakan semua orang yang membuat mu sakit

At-Taubah : 40

~~••~~

Sudah menjadi seperti kebiasaan baginya jika setiap ia ke kampus pasti ada saja mahasiswi atau dosen wanita yang mengiriminya berbagai barang atau makanan, dan Attareq tak pernah menolaknya. Selagi makanannya halal, dan barangnya bermanfaat, tidak ada alasan untuk ia menolaknya. Dan begitu pun hari ini, nampak dari kejauhan dua mahasiswi berjalan melenggang ke arahnya dan berhenti di hadapannya sambil menyodorkan sebuah kotak makanan.

"Pak, maaf Ini kemarin Mama saya berkunjung dari Palembang kesini, dan bawain oleh-oleh pempek. Kebetulan kebanyakan, jadi saya mau kasih ke Bapak." Marwah tampak kikuk saat memberikan kotak makanan itu pada Attareq sambil ditemani Jean di sampingnya.

"Kalo gak kebanyakan berarti buat saya gak ada dong?" Attareq merespon dengan tertawa kecil sambil menerimanya.

Marwah tampak terkejut dengan jawaban itu, dan langsung mengibaskan kedua tangannya tanda bukan itu yang ia maksud.

"Gak gitu, Pak. Saya_"

"Saya bercanda," potong Attareq dan langsung melihat ke arah Jean yang sedari tadi terdiam.

"Itu mentah ya Pak, jangan lupa digoreng dulu." Marwah mengingatkan.

"Terimakasih Marwah."

"Bapak tahu nama saya?" tanyanya kegirangan.

"Tau dong, kamu mahasiswi saya kan?"

"Iya, Pak. Biologi, saya mau jadi guru biologi." Marwah memperlama obrolan.

"Oke, semangat ya." Attareq menyunggingkan senyumnya.

"Iya, Pak."

"Kalau begitu, saya permisi ya," pamitnya tanpa mendengar sepatah kata dari Jean.

"Hati-hati, Pak." Marwah melambai bahagia sambil melihat pria itu dari belakang.

"Je, Lo kok diem aja sih! gue kan malu tadi ngomong sendiri," gerutu Marwah.

"Gue gak tahu mau ngomong apa," jawab Jean.

"Kenapa? kharisma nya menyilaukan ya?" candanya lalu sedetik kemudian mendapat jitakan dari Jean.

"Gue ikut kelas Lo yah," ucap Jean mengganti topik.

"Lo naksir Islam yah?" Marwah mencurigai Jean yang selalu aktif ikut serta dalam setiap kelas agama Islam nya.

"Gue naksir Pak Wahid, puas Lo!" Pak Wahid yang dimaksud Jean adalah dosen agama Islamnya.

"Sampe tau loh nama dosennya," lanjut Marwah.

"Udah ah ayo," ajak Jean menarik sebelah tangan Marwah menuju kelas agama Islam.

*****

"Ada yang mau bertanya?" tanya Pak Wahid saat di tengah pengajaran agama Islamnya.

Seketika itu juga tanpa ragu Jean menegakan satu tangan sehingga terlihat oleh dosen parubaya itu, "iya, silahkan."

"Pak saya mau tanya, antara muslim yang berhijab tapi suka mendzolimi orang lain dan muslim tak berhijab tapi baik pada orang lain. Siapa yang akan masuk neraka duluan?"

Akibat pertanyaan tersebut bola mata para wanita muslim yang belum berhijab pun memusatkan semua pandangan pada Jean, termasuk sahabatnya Marwah dan Shiren yang saat itu belum berhijab walaupun seorang muslim.

Berbeda respon dengan yang lain, Pak Wahid seperti sudah mempersiapkan untuk jawaban dari pertanyaan Jean.

"Nama kamu siapa?" tanya Pak Wahid untuk permulaan.

"Jean, Pak."

"Baik, Jean. Jadi ukuran, atau penilaian keislaman seseorang itu tidak didasarkan oleh hijab dan tidak berhijabnya. Tapi jika tadi kamu bilang mana yang lebih dulu masuk neraka, kayaknya menurut saya yang lebih dulu masuk neraka adalah orang yang menanyakan pertanyaan itu."

Seluruh isi kelas menjadi riuh dengan tawa seperti sedang dalam pertunjukan komedi, para mahasiswi yang belum berhijab merasa di selamatkan oleh jawaban Pak Wahid.

"Karena apa? karena justru orang-orang yang masuk neraka adalah mereka yang suka mengurusi urusan orang lain tanpa bercermin pada dirinya sendiri."

"Pak, pertanyaan saya salah ya?" tanya Jean canggung melihat semua orang yang menatapnya.

"Tidak ada pertanyaan yang salah, itukan tandanya memang kamu tidak tahu. Pertanyaan itu muncul dari ketidak tahuan, justru yang bisa salah itu jawabannya." Pak Wahid menjawab dengan bijaksana.

"Jadi fokuslah perbaiki diri kamu, tidak perlu menilai orang lain." Pak Wahid menambahkan dengan bijak.

"Sampai sini paham?"

"Paham, terimaksih." Jean menundukkan kepalanya.

****

Saat di luar kelas, Jean bergabung dengan teman-temannya yang sedang bergosip di satu Gazebo kampus. Dengan dilingkari banyak cemilan dan es teh, mereka menunggu kelas selanjutnya hari itu dengan sesekali gurauan kasar dari mereka.

"Pertanyaan Lo gak salah, cuman sarkas." Shiren menyumpal Jean dengan biskuit kelapa.

"Lo pada kesindir ya," ledek Jean.

"Bukan cuman kita yang kesindir, semua mahasiswi belum berhijab tadi juga kesindir." Shiren tampak kesal.

"Tapi Pak Wahid okey kok."

"Serah lu deh." Shiren tak ingin lagi berdebat.

"Eh, gimana? pempek nya udah dikasih ke Pak Attar?" tanya Milan pada Marwah.

"Udah, ditemenin Jean." Marwah menjawab sambil senyum merekah.

"Diterima? dia bilang apa?" Milan mulai kepo.

"Ya klise sih, cuman terimakasih- sama-sama gitu." Marwah mempraktekan obrolan tadi.

"Cuman ni bocah diem aja, gue kan agak akward ya ngomong sendiri," tambahnya menyindir pada Jean.

"Gue kan udah bilang, gue gak tahu harus ngomong apa." Jean membela diri.

"Kenapa emangnya, gugup juga kan lo?" Shiren ikut-ikutan menyeringai.

"Gue tuh kalo ketemu dia, kayak apa ya. Beda strata aja gitu, dia tuh high class dan berwibawa gitu. Gue jadi ngerasa gak pantes aja."

"Halah sekarang aja Lo muji-muji, giliran di kelas, Lo bikin masalah mulu!" Marwah yang sekelas biologi dengan Jean pun tahu betul tingkah gadis ini saat di kelas Attar.

"Gue itu gak suka biologinya, bukan gak suka dosennya." Jean membantah.

"Apa perlu kita Adain perkumpulan demo ke bokap Lo untuk pindahin Lo ke jurusan lain?" Milan tampak gemas pada keluarga Jean yang memaksa anak tunggalnya untuk masuk fakultas kedokteran.

"Boleh tuh, kita bikin group Facebook nya." Shiren tampak bersemangat.

Demi Waktu (Al-Asr) [Tamat]#gloriouswritingcontest2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang