10. Meninggalnya Pak Wahid

295 42 1
                                    

Attareq memasukan satu sendok terakhir makanannya ke dalam mulut, ketika setelahnya dia harus bergegas menghadiri pemakaman salah satu dosen di universitas itu yang baru saja diumumkan telah menghadap sang pencipta beberapa menit lalu.

Sebelum pergi, ia harus terlebih dahulu mengumumkan di sebuah grup chat kelas bahwa hari ini kelasnya diganti oleh beberapa latihan soal karena berhalangan hadir. Setelah itu ia langsung berniat menghadiri pemakaman untuk mengantarkannya pulang yang terakhir kali, dan dosen yang dimaksudkan merupakan dosen agama Islam berumur lima puluh dua tahun, bernama Pak Wahid.

"Pak Attar, boleh nebeng?" teriak Pak Abdul selaku dosen mata kuliah manajemen.

"Boleh, Pak. Ayo," ajak Attareq pada rekan kerja seniornya dan mempersilahkan masuk mobil.

Setibanya disana, rombongan keluarga beserta orang terdekat Pak Wahid sudah siap untuk mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir, termasuk para dosen satu universitasnya. Meskipun Pak Wahid tidak begitu dekat dengan Attareq, tapi sosoknya yang sabar dan sopan sangat menjadi panutan Attareq dalam mengajar.

Terlihat beberapa orang menuruni liang kubur itu untuk mulai mengkebumikan dosen yang terkenal baik tersebut, nampak juga anak laki-laki Pak Wahid ikut turun untuk menidurkan sang Ayah disana. Semua mata sembab dan air mata yang bercucuran terlihat begitu menyesakkan, belum lagi istri Pak Wahid yang terlihat begitu kacau tak terhiraukan.

Namun ada satu pemandangan aneh yang tak sengaja dilihat Attareq, ia seperti melihat sosok Jean diantara pepohonan yang berjarak agak jauh dari pemakaman Pak Wahid. Walaupun begitu, tak sedikit pun ia mengindahkan karena memang tidak mungkin.

*****

Singkat cerita, setelah kepergian Pak Wahid selaku dosen Agama Islam. Tiba-tiba saja Attareq ditunjuk untuk menggantikannya, meskipun ada beberapa kandidat dalam pemilihan. Tapi Attareq yang merupakan lulusan Kairo, sepertinya tidak usah diragukan mengenai ilmunya. Hingga terjadilah saat kelas agama pertamanya dimulai, dengan semangat yang menggebu, juga rasa berdebar karena sebelumnya ia hanya pernah menjadi seorang guru agama biasa di sebuah pesantren kecil.

"Assalamualaikum semuanya," salam Attareq untuk membuka kelas itu, lalu diindahkan dengan berbagai teriakan dari beberapa mahasiswi yang menjadikannya dosen idola.

"Wah jadi pengganti Pak Wahid, Pak Attar!" teriak salah satu mahasiswi di ujung sana.

Attareq hanya tersenyum tak ingin memperpanjang basa-basi.

"Baik semuanya, sebelumnya perkenalkan nama saya Attareq Fathan Ad-daussy. Biasa disebut Pak Attar."

"Udah tahu!!!" teriak dengan kompak hampir seluruh isi ruangan itu.

Attareq terkekeh lagi.

"Yaudah kalo udah tahu, saya akan mulai kelas dengan mengabsen dulu."

Attareq menyebutkan satu persatu nama lalu kemudian mereka mengangkat tangan tanda kehadiran, hingga semuanya dirasa sudah dia panggil. Ternyata ada satu orang yang tidak ada dalam daftar kehadirannya, Jean Mouretta!

Dia salah kelas?, batinnya.

"Oke semuanya, saya pertegas kembali ya kalau ini kelas agama Islam bukan biologi. Saya sudah tidak menjadi dosen biologi lagi," ucap Attareq penuh penekanan menyindir Jean yang tampak tak berdosa mengikuti kelasnya.

Akhirnya mulai menyerah, Attareq melanjutkan saja kelasnya sesuai rencana awal dengan membahas fiqih, untuk permulaan. Dengan sesekali pandangannya menuju ke arah Jean yang tampak anteng mendengarkan penjelasannya, tidak seperti saat di kelas biologi, yang selalu menunjukan wajah malas dan sering ketiduran.

"Ada pertanyaan?" pungkas Attareq.

Dan sebelum semua tangan menegak keatas untuk bertanya, terlebih dahulu Jean sudah mengacungkan tangannya dengan tinggi agar dilihat.

"Oke Jean silahkan."

"Pak, saya pernah dengar kalo Al-Qur'an sering difitnah sebagai ciptaan atau buatan nabi Muhammad dan bukan ciptaan Allah. Bagaimana tanggapan Bapak tentang itu?" tanya Jean.

"Jadi gini Jean, jauh sebelum itu terjadi. Ada yang mempertanyakan juga kenapa Allah menciptakan nabi Muhammad Ummiy atau buta huruf? ya mungkin itulah jawaban atas pertanyaan kamu. Nabi Muhammad saja buta huruf dan membaca, bagaimana mungkin dia bisa menciptakan al-quran?" Attareq menjeda kalimatnya.

"Mungkin Allah bisa saja membuat nabi pintar, jenius, pandai membaca. Tapi Allah membuat Nabi Muhammad buta huruf agar Al-Qur'an tidak dianggap ciptaannya, melainkan Wahyu dari Allah," tambahnya.

"Jadi maksud Bapak kebutaan huruf Nabi Muhammad justru adalah bentuk kasih sayang Allah, karena dia tahu kelak akan ada yang memperdebatkan di zaman sekarang ini?" lanjut Jean.

"Betul sekali, sekitar 1400 tahun sebelum ini. Allah sudah tahu kelak akan ada yang bertanya seperti ini. Dan sekitar 1400 tahun lalu pula dia sudah mempersiapkan jawabannya, dia lah yang maha mengetahui lagi maha penyayang, Jean." Attareq menjawab lagi.

"Masyaallah," gumam Jean.

"Dan masih banyaaak lagi kuasa Allah, kamu hanya perlu mengenalnya lebih dalam." Attareq menutup jawabannya untuk Jean.

****

"Saya kira kamu tidak suka dengan kelas saya," ucap Attareq lembut saat Jean melewatinya.

Merasa tersindir, ia mundur satu langkah untuk menjawab,"saya kan bilang kalo saya gak suka biologinya, bukan dosennya."

Attareq tersenyum sambil membuang nafas perlahan,"jadi maksud kamu, kamu menyukai Islam?"

"Kamu gak lagi salah masuk kelas kan tadi? bahkan sikap kamu di kelas Agama Islam kali ini lebih aktif dan fokus ketimbang kelas biologi saya," lanjutnya.

Jean menggeleng pembuktian atas kesalahtanggapan Attareq.

"Saya masuk kelas ini dengan sukarela kok, Pak. Saya permisi." Jean menjawab dengan langkah yang lambat menuju pintu keluar.

"Dia emang langganan kelasnya Pak Wahid, Pak." Marwah yang tiba-tiba melanjutkan obrolan yang ternyata mendengar percakapannya dengan Jean.

"Oh ya? dia_"

"Tertarik dengan Islam." Marwah memotong kalimat Attareq.

"Sejak kapan?" tanya Attareq.

"Udah lama sih, Pak. Pak Wahid itu bahkan jadi guru spiritual sekaligus dosen favoritnya."

"Jadi orang yang saya lihat kemarin di pemakaman Pak Wahid, itu bener Jean?" tanya Attareq lagi sambil mengerutkan kening.

"Mungkin, Pak. Karena dia bilang kemarin mau melayat."

Attareq mengangguk pelan, "oke, terimakasih informasinya, Marwah."

"Sama-sama, Pak. Jadi untuk next time biarkan dia ikut kelas Bapak ya," pinta Marwah.

Attareq mengangguk kembali dengan ritme cepat kali ini menandakan keantusiasannya, "tentu."

"Baik, Pak. Saya pamit ya, Assalamualaikum."

"Waalaikumdalam."

Apa ini jawaban mu yaallah?
Apakah engkau mempermudah jalan ku untuk memperkenalkan mu padanya, yang ternyata dia sudah lebih dulu tertarik mengenalmu. Batin Attareq menggebu saat tahu Jean ternyata sudah jatuh cinta pada Islam sebelum ia memperkenalkannya.

Demi Waktu (Al-Asr) [Tamat]#gloriouswritingcontest2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang