33. Sulaiman sang pencerah

200 29 10
                                    

  Hay guys, maaf updatenya lama😭 lagi capek banget kerja. Padahal imajinasi udah numpuk di otak, semoga chapternya suka.

happy read.
.
.

Untuk kedua kalinya, Attareq melihat Sulaiman sedang menawarkan tissu-tissu yang merupakan barang dagangannya. Diketuknya pintu mobil itu satu persatu ketika lampu berubah merah, dipaksakannya bibir mungil itu tersenyum, namun sedikit memelas agar dagangannya mau dibeli pada pengendara sekadar untuk mengelap keringat di hari yang terik itu. Entah diapakan uang pemberiannya tempo hari sehingga ia harus turun lagi ke jalan untuk berdagang dan tidak meneruskan belajar di pesantren, karena baginya sangat disayangkan kecerdasan Sulaiman jika disia-siakan. Attareq menepikan mobilnya di sebuah area parkir milik restoran minimalis di pinggir jalan yang terlihat menawarkan makanan ala Sunda, tak jauh dari tempat Sulaiman berdagang.

"Salman, bisa kita bicara?" Attareq menarik barang dagangan yang digenggam anak itu.

Dengan lelehan air mata yang menggenang di sela pupil, ia menatap Attareq sendu, "Ustadz?"

"Tidak apa-apa, Ayo." Attareq mengajaknya untuk makan di restoran itu dengan menyuguhkan beberapa hidangan di meja.

"Ustadz, saya tidak lapar."

"Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang, kamu pernah mendengar kata kiasan itu?" Attareq menatap Sulaiman dengan senyuman yang mengembang sambil mengunyah cacahan tempe dimulutnya dengan lahap.

"Maaf, Ustadz." Sulaiman mulai melahap makanan sederhana itu dengan tangan gemetar.

"Apa yang harus saya maafkan?"

"Uang itu tidak saya pakai untuk melanjutkan pesantren."

"Boleh saya tahu kemana kan uangnya?"

"Diambil Bapak saya untuk judi." Sulaiman tertunduk merasa bersalah tidak bisa menggunakan pemberian Attareq dengan baik.

Attareq mengambil ikan teri yang terlihat begitu renyah, lalu mencoleknya pada sambal yang warnanya merah sekali, "yang penting makan dulu, biasanya kalau saya sedang lapar, agak gampang emosi."

Sulaiman tersenyum tenang lalu terlihat lahap juga menyantap daun singkong dengan isi kelapa yang telah dibumbui, "terimakasih, ustadz."

Beberapa saat kemudian, selagi menunggu antrian membayar di kasir yang masih panjang. Attareq masih duduk di kursinya sambil terlihat menatap ponsel dengan serius, pandangannya bercampur emosi Disana. Sulaiman memberanikan untuk mengintip apa yang sedang dilihat Ustadznya, "Ustadz akan menikah?"

Sulaiman tampak tersenyum cerah, ternyata Attareq sedang melihat gambar undangan pernikahannya di ponsel sedari tadi.

"Doakan saja," ucap Attareq tersenyum sedikit dipaksakan.

"Ada masalah, Ustadz?"

"Ada, tapi ini urusan orang dewasa. Remaja lima belas tahun seperti kamu tahu apa." Attareq mengusap puncak kepala Sulaiman.

"Justru bukankah pandangan remaja seperti saya biasanya paling jujur dan tidak memihak?"

"Siapa tahu pendapat saya bisa sedikit membantu," lanjutnya dengan mengangkat sebelah alis.

Setelah berfikir beberapa saat, melihat Sulaiman yang mempunyai pemikiran dewasa. Bisa dilihat ketika dia mau membantu orang tua nya untuk berjualan, juga sangat memedulikan Ibunya yang kelelahan mencari uang. Mungkin pendapat remaja pintar sepertinya akan bisa diterima, lalu Attareq menceritakan sekilas mengenai dilemanya pada dua wanita yang berbeda latar belakang yang selama ini membuatnya frustasi.

Demi Waktu (Al-Asr) [Tamat]#gloriouswritingcontest2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang