6. Percobaan bunuh diri

350 46 13
                                    

Dan entah mengapa, seperti terus saja ditakdirkan untuk bertemu. Dalam peristiwa kali ini pun, Attareq terpilih lagi sebagai orang yang menyelamatkan hidup Jean. Hidup yang bagi Jean sudah terlalu tandus, dan tak lagi bisa diselamatkan hanya dengan kalimat penenang. Antara logika dan alam bawah sadar yang terus saja meronta ingin dibebaskan, sementara raga hanya bisa menempuh gurat hidup yang ditentukan sepihak oleh Papanya. Jadi kemana lagi tujuan akhir Jean jika bukan pada akhirat, yang menjanjikan keabadian dan kebebasan dari semua beban hidup.

Hatinya kini seperti berkabut diselimuti aliran iblis agar dia melompat dalam sebuah jembatan layang yang di bawahnya terdapat jurang tak bertepi juga dikelilingi rumput liar yang berduri. Kakinya dengan mantap menaiki pagar pembatas agar mempermudah ia untuk melompat dan mati di bawah sana.

Tatapan Jean hari itu begitu kosong tak ada harapan, ia memejamkan mata karena melihat begitu dalamnya jurang itu dan menakutkan.

"Jean!!" teriakan itu lalu menusuk menghentikan semuanya, Jean menoleh ke sumber suara.

"Bapak gak usah ikut campur! lanjutin aja perjalanan Bapak!!" teriak Jean pada Attareq yang saat itu tak sengaja lewat.

"Jean, kalo ada masalah, mengadu sama tuhan, minta pertolongan. Berdoa, ini bukan solusi atas semuanya."

"Sayangnya saya atheis yang tidak tahu konsep ketuhanan," jawab Jean singkat.

Attareq terdiam sejenak saat mendengar itu.

"Jika memang hati kamu tidak berperi ketuhanan, setidaknya berperi kemanusiaan. Berperi kemanusiaan untuk diri kamu sendiri, dengan cara menghargai diri dan hidup kamu!" Attareq mencoba lagi untuk membujuk.

"Bapak tahu apa tentang hidup saya! Bapak cuman orang asing! berhenti ikut campur sama hidup saya!" Jean menggertak dengan penuh emosi.

"Berhenti bilang saya orang asing, saya dosen kamu!" ucap Attareq penuh penekanan.

"Pergi!!"usir Jean sambil kemudian mencoba untuk melepaskan pegangannya pada tihang jembatan.

"Jean, saya ijin ya. Saya harus melakukan ini!"

Tanpa diduga Attareq berlari dan langsung menarik Jean dari sisi jembatan itu dan membopongnya ke mobil.

"Bapak apaan sih, Pak. Lepasin saya!" Jean meronta dalam pangkuan Attareq.

"Demi Allah, Jean. Saya gak bermaksud, tapi saya gak bisa melihat seseorang mati di hadapan saya."

Attareq mendudukkan Jean di mobil lalu menguncinya setelah mereka berada di dalam, Attareq bernafas lega walau masih melihat amarah dalam perangai Jean.

"Turunin saya," pinta Jean.

"Gak!"

"Ini bukan hidup yang saya mau, Pak. Saya tahu, Bapak melihat kejadian di kafe tempo lalu."

"Itu bukan alasan kamu untuk bunuh diri, saya akan bicara sama orang tua kamu ya." Attareq mulai menenangkan.

"Percuma, Pak. Dari kecil saya dididik untuk sempurna, Saya capek, Pak. "

Ingin rasanya saat itu Attareq memeluk gadis ini dengan hangat, hanya untuk sebuah usaha menenangkan.

"Dengar saya Jean, saya peduli sama kamu. Temen-temen kamu juga peduli sama kamu, terkadang dalam hidup, kamu hanya perlu melihat sisi baik agar bisa bertahan hidup. Sisi baiknya, kamu masih bisa makan enak, uang terjamin, sekolah dengan nyaman. Coba bandingkan dengan mereka yang kurang mampu hidupnya," Ucap Attareq penuh makna.

"Saya lagi gak pengen denger ceramah tentang Aqidah." Jean melengos dengan judes memalingkan pandangan ke luar jendela.

"Yasudah." Melihat Jean sudah lumayan tenang, Attareq melajukan mobilnya.

"Kita mau kemana?" tanya Jean setelahnya.

"Masjid, saya mau sholat Jumat."

"Kalo gitu turunin saya, lanjutin aja perjalan Bapak."

"Setelah saya turunkan kamu, terus apa? kamu mau kembali kesana dan lompat diam-diam!" ketus Attareq.

"Kamu hanya perlu tunggu saya sholat jumat, hanya satu jam. Saya mohon, Jean." Tutur katanya kembali lembut.

Jean hening dalam tatapannya melihat jalan.

"Pak." Tiba-tiba Jean bersuara.

"Apa? kamu mau debat apa lagi?"

"Ini kan masih jam sebelas, sholat Jumat bukannya masih lama?" tanya Jean yang sebenarnya penasaran pada Islam.

Attareq tersenyum mendengar pertanyaan yang kini berubah haluan itu, tak lagi membahas tentang hidupnya yang malang dan percobaan bunuh diri.

"Al-Asr, Jean. Demi waktu," jawab Attareq.

"Maksudnya?"

"Islam mengajarkan umatnya tentang tepat waktu," jawab Attareq perlahan.

"Bahkan hal detail seperti waktu, di Islam ada aturannya?" tanya Jean.

"Ada hal yang lebih detail dari waktu, saat memasuki toilet pun dalam Islam ada aturannya."

"Waw."

"Belum lagi saya kan harus wudhu lagi, setelah wudhu saya batal karena tadi saya menyentuh kamu." Attareq mengingat hal mengejutkan seperti tadi.

"Saya bukan najis ya," jawab Jean merasa terintimidasi.

Attareq dengan cepat menggeleng, "ada beberapa hal yang dapat membatalkan wudhu, selain najis, Jean. Salah satunya menyentuh dengan yang bukan muhrim."

"Muhrim itu apa?"

"Ada keturunan darah, dan diharamkan untuk dinikahi." Attareq menjelaskan se sederhana mungkin.

"Jadi saya bukan muhrim karena saya tidak ada keturunan darah sama Bapak, dan saya halal dinikahi Bapak?"

Uhukk!! uhuuk!!

Attareq tersedak saat mendengar kesimpulan yang diambil oleh Jean, dengan kalimat yang dipakainya.

"Bapak kenapa?"

"Nggak, apa-apa."

Lalu suasana hening beberapa menit, sampai Jean mulai bersuara kembali dengan pertanyaannya.

"Kenapa sholat Jumat hanya diwajibkan untuk pria?"

Kali ini Attareq sedikit tertawa, "hanya diwajibkan untuk laki-laki saja mesjidnya penuh, apalagi wanita juga ikutan."

"Serius dong, Pak."

"Nanti saya jelasin, sekarang saya sholat dulu ya. Kamu jangan kemana-mana." Attareq memarkirkan mobilnya di lahan parkir sebuah masjid agung yang sudah terisi oleh beberapa pria berkopiah.

Jean menatap punggung dosennya itu yang melenggang semakin jauh dari hadapannya, Jean merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dia bisa saja sekarang turun dari mobil dan melanjutkan niatnya untuk bunuh diri, tapi setelah mendengar semua yang terucap dari dosennya dan juga mendengar adzan, hatinya terasa sedikit tenang.

Demi Waktu (Al-Asr) [Tamat]#gloriouswritingcontest2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang