ꜰᴏᴜʀᴛᴇᴇɴ

58 28 0
                                    

Dua hari setelah kejadian di rumah kosong, Rea akhirnya kembali masuk sekolah.

Beberapa murid telah mendengar kejadian yang telah dialami oleh Rea. Mereka tak menyangka Righen akan melakukan hal senekat itu pada gadis itu.

Kepala sekolah pun memilih untuk memberi Righen skorsing selama seminggu. Beredar pula rumor bahwa Righen akan di pindahkan ke sekolah lain.

Rea berterima kasih kepada teman-temannya yang sudah peduli dengan keadaannya.

Saat ini Rea tengah diseret oleh Lingga menuju kantin. Di sana sudah ada Dara yang duduk di salah satu bangku kantin.

"Hai. Gimana kabar lo, Re?" tanya Dara.

Rea duduk di salah satu kursi dan tersenyum. "Udah mendingan."

Lingga berinisiatif untuk mengantre lebih cepat agar tidak kehabisan makanan.

Ketika pesanannya sudab siap, Lingga langsung membawa nampan tersebut ke meja. Di sana Lingga sudah menangkap keberadaan El di samping Rea.

"Sungguh protektif. Kapan saya punya pacar, ya?" pikir Lingga sambil senyum-senyum sendiri.

Lingga pun meletakkan satu persatu pesanan teman-temannya.

"Makasih ya, El. Nggak tau lagi gimana kalau lo sama Rian nggak dateng." Rea menatap laki-laki itu.

"Lo sampai kapan sih mau ngomong 'makasih'? Udah tugas gue ngelindungi lo, Rea," ucap El lembut.

Lingga yang melihat itu menjadi baper sendiri. Rasanya gadis itu ingin berteriak.

Rea mengangguk dan melanjutkan aktivitas makannya. El tiba-tiba mengambil alih sendok yang dipegang oleh Rea dan mulai menyuapi gadis itu.

Lingga semakin tak bisa menahan diri untuk berteriak. Melihat dua sejoli tersebut, Lingga rasanya ingin pindah planet saat itu juga.

"Stop!" teriak Lingga tiba-tiba.

Rea dan El menatap ke arah Lingga sambil menaikkan satu alis mereka. Bahkan Dara yang ada di sebelah Lingga pun menaikkan alisnya.

Lingga melirik ke kanan dan ke kiri secara bergantian sebelum akhirnya berdeham. "Daripada lo berdua suap-suapan di sini dan buat gue gila, mendingan gue dan Dara pamit undur diri." Lingga bangkit dari posisinya dan menarik tangan Dara.

"Tapi gue belum selesai makan, Lingga," ucap Dara.

"Lo mau jadi obat nyamuk di sini?" Lingga sedikit melotot. Dara menggeleng kemudian bangkit dan pergi mengikuti Lingga.

Rea hanya geleng-geleng melihat kelakuan dua sahabatnya itu. Rea mengambil lirik lagu yang sedari tadu hanya ia letakkan di meja kantin.

El menatap gadis itu. "Kenapa lo suka garis bawahi lirik? Kan bisa lo luapin aja perasaan lo langsung, Re."

Rea menatap El dan menaikkan bahunya. "Ini cara gue, El." Rea tersenyum.

Gadis itu mengambil pulpennya dan menggaris bawahi salah satu lirik. El menatap lirik tersebut. Kali ini Rea menggunakan lagu dari One Direction yang berjudul 18.

I wanna love like you made me feel when we were 18

Rea mencoret angka delapan belas dan menggantinya dengan angka tiga belas. El lantas menatap Rea, bingung.

"Kok tiga belas?" tanya El.

"Awal gue masuk kelas tujuh kan umur gue dua belas dan umur lo tiga belas. Karena gue berbunga-bunganya di umur tiga belas, jadi tiga belas deh." Rea menaikan bahunya.

El mulai tersenyum ketika melihat Rea menjelaskan. Rea terlihat lucu saat menjelaskan.

"Kalau gue itung, kita tuh cuma beda beberapa bulan aja sih, bukan setahun. Lo tanggal 6 Juni 2002 kan? Kalau gue 3 Maret 2003." Rea mulai berteori.

"Iya juga, cuma beda sembilan bulan. Berarti pas lo ultah umur tiga belas di bulan maret, gue juga masih tiga belas tahun. Karena gue ultahnya masih juni." El menyetujui teori Rea.

¸,ø¤º°'°º¤ø,¸

Rea kini tengah bersiap untuk pergi ke taman. Ini tentunya adalah ide dari Lingga. Lingga merasa mereka jarang berkumpul semenjak berpisah kelas dengan Dara.

Tentu saja yang mengajak adalah orang yang harus menjemput. Lingga menjemput Dara terlebih dahulu lalu lanjut menjemput Rea.

"Heyyo ladies! Are you ready?" teriak Lingga dengan semangat.

"Readyyyyy!" Rea dan Dara berteriak bersamaan.

"Okay... Let's go!"

Lima belas menit berlalu, akhirnya tiga sahabat itu sampai di taman. Taman yang mereka datangi saat ini terbilang cukup besar.

Ada banyak orang yang melakukan berbagai kegiatan di sana. Mulai dari bermain layangan, bermain sepatu roda di pinggir jalanan yang sepi, hingga piknik.

"Kita tim apa nih? Tim piknik kah? Atau sepatu roda?" tanya Lingga.

"Tim gelembung." Dara mengeluarkan
mainan gelembung sabun.

Rea dan Lingga menatap satu sama lain sebelum akhirnya tertawa.

Mereka meniupkan banyak gelembung ke udara sambil berlari. Gelembung mulai terbang ke berbagai arah.

Rea berhenti meniupkan gelembungnya saat melihat seseorang yang ia kenal. Lingga yang tak melihat sekitar pun akhirnya menabrak punggung Rea dan membuat air gelembung yang ia pegang membasahi punggung Rea.

Lingga melebarkan matanya dan mendekat ke Rea. "Sorry, Rea. Maaf. Gue nggak lihat lo berhenti."

Lingga menatap punggung Rea yang kini sudah basah karenanya. Rea meyakinkan Lingga bahwa dirinya tidak marah.

"Hati-hati lain kali, Ling. Bahaya juga kalau kena orang asing." Dara mengingatkan.

"Iya deh. Maaf ya, Re." Lingga tampak merasa bersalah.

"Tapi lo ngelihatin lagi apaan sih, Re?" tanya Dara penasaran.

"Oh, tadi itu ada-"

"Hai," ucap El.

"El." Rea melanjutkan perkataannya.

"Hai, Kak El," sapa Dara dan Lingga dengan kompak.

El mengangguk lalu mengalihkan pandangannya untuk menatap Rea.

"Nggak bilang kalau mau ke sini," ucap El.

"Emangnya harus ijin ke lo dulu, ya?" Rea menatap El dengan kesal.

"Wajib lah Rea. Kan dia cowok lo," celetuk Lingga yang membuat Dara langsung memukul lengan gadis itu.

"Gue nggak tau kalau lo juga kesini, El sayang." Rea tersenyum manis.

El sedikit terkejut lalu berdeham. Gadis itu berjongkok untuk memperbaiki tali sepatunya yang lepas. El menjadi salah fokus dengan punggung Rea yang basah.

"Kenapa baju lo basah, Re?" tanya El.

Rea berdiri dan mengangkat botol gelembung sabun di tangannya.

El menghela napas karena Rea tak mau menjawab dengan suaranya. Anak laki-laki itupun melepaskan jaket yang ia pakai lalu memasangkannya di pundak Rea.

"Thanks," ucap Rea, singkat.

El meraih tangan pacarnya lalu membawanya ke pinggir jalan.

"Anjir, main nyeret anak orang aja." Lingga menatap kepergian El dan Rea.

"Yaudah sih. Kan masih ada gue." Dara menepuk bahu Lingga.

Di sisi lain, El telah mengajak Rea untuk bermain sepatu roda bersama.

El telah selesai memasang sepasang sepatu roda di kakinya. Ia kemudian membantu Rea untuk memasang sepatu rodanya.

Rea hanya menatap laki-laki itu. Jantungnya kini sudah berdegup kencang. Setelah selesai, El membuat kontak mata sejenak sebelum akhirnya Rea mengalihkan pandangannya.

"Ingat. Hubungan karena reputasi," ucap Rea dalam hati.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang