ᴛᴡᴏ

80 30 0
                                    

El kini tengah berlari memasuki rumah lalu melihat ke sekelilingnya. Ia menemukan pecahan vas bunga kesayangan Bundanya.

Ia menatap ke arah dapur lalu memutuskan untuk mengecek keadaan dapurnya.

El melihat beberapa pisau jatuh di lantai dan beberapa peralatan masak telah berserakan di lantai.

Orang tuanya sudah pergi, pikirnya. Ia berharap mereka tidak melukai satu sama lain. Atau bahkan saling membunuh.

El termasuk anak broken home. Orang tuanya memang tidak cocok satu sama lain. Alasan yang membuat mereka mempertahankan rumah tangga adalah karena El.

"Semuanya salah kamu, El!" Suara perempuan memenuhi ruangan. El berbalik dan mendapati sang Bunda tengah menggenggam salah satu pisau.

"Bun?" El menatap Bundanya, ngeri. Ia takut Bundanya akan menyakiti dirinya sendiri.

"Kalau aja kamu nggak lahir, saya nggak perlu mempertahankan rumah tangga ini!" Bundanya kembali berteriak.

El membeku sejenak setelah mendengar perkataan Bundanya. Ia merasa sakit mendengarnya. Bundanya tidak pernah menyakitinya, bahkan lewat perkataan sekalipun. Namun kali ini ia tidak percaya Bundanya akan berkata seperti itu pada dirinya.

"Kamu tau El? Kami sudah nggak cocok dari awal. Semua karena paksaan dan perjodohan nggak jelas itu!" Bundanya melanjutkan.

Sebelum El menjawab, Bundanya sudah maju untuk menyerang El. Anak laki-laki itupun terkejut dan mencoba untuk menghindari serangan tersebut.

"Bun, jangan gini dong." El memohon.

Bundanya hanya menggeleng dan mulai mengayunkan pisau tersebut. El menutup matanya, bersiap menunggu rasa sakit itu.

Setelah beberapa saat, rasa sakit itu tak kunjung datang. Membuat El membuka matanya dan mendapati sosok gadis di ujung ruangan. Ia melihat kembali ke sosok Bundanya yang tengah diam tak bergeming.

Gadis itu mendekati El dan memegang lengannya. Seketika mereka berpindah ke alur mimpi yang berbeda.

"What the?" El melihat ke sekeliling sebelum kembali menatap sosok gadis yang mulai berjalan pergi.

"Hei, tunggu!" teriak El.

El terbangun dari tidurnya. Ia mengatur napas dan mengusap wajahnya yang berkeringat.

"Cewek itu lagi," gumam El.

Ya, sayangnya ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan gadis itu di dalam mimpi. Gadis dengan wajah blur yang membuat El tak dapat mengenali wajahnya.

"Udah yang ketiga kalinya. Masa masih kebetulan?" El bertanya pada dirinya sendiri.

Pintu berderit terbuka menampilkan sosok Bundanya.

"Pagi, El." Sang Bunda tersenyum lembut.

El sedikit terkejut saat mendengar suara Bundanya. Ia memutuskan untuk membalas sapaan sang Bunda dengan ragu-ragu.

"Bunda udah masakin sarapan di bawah. Kamu mandi terus turun ya buat makan," ucap Bundanya lalu berjalan pergi.

"Iya, Bun," balas El, pelan.

Tanpa berlama-lama, El langsung pergi untuk mandi lalu sarapan bersama Bundanya di meja makan.

Hari ini adalah hari ke dua belas libur sekolah. Tadi malam adalah tepat di mana malam pergantian tahun baru terjadi. Tentunya El sangat lelah setelah menyalakan ratusan kembang api.

"Nyesel gue nerima ajakan tuh bocah," gerutu El.

El mulai menaiki motornya lalu berkendara ke jalanan yang sepi untuk mencari ketenangan.

¸,ø¤º°'°º¤ø,¸

Rea tengah menatap langit yang sedang mendung. Kini ia berada di jalan menuju rumah Lingga. Karena ojek online yang ditumpanginya bannya bocor dan tidak ada sinyal untuk memesan ojek online lain, Rea pun terpaksa harus berjalan kaki.

"Kalo tiba-tiba hujan, emang nggak bagus banget nasib gue hari ini." Rea menendang batu kerikil yang ada di depannya.

Setelah beberapa saat, Rea melihat ada seorang anak laki-laki yang ia kenal.

"El?" gumam Rea. Ia lantas mendekati anak laki-laki tersebut.

"Ngapain lo di sini? Mau gangguin gue?" tanya El tiba-tiba. Sepertinya El sudah menyadari keberadaan Rea tanpa harus menatap gadis tersebut.

Rea menggelengkan kepalanya. "Cuma penasaran aja. Ngapain lo di sini?"

"Penasaran banget ya lo jadi cewek." El menghela napas, kasar.

Rea menaikan alisnya, ia sedikit memahami situasinya. "Gue nggak sengaja lewat sini. Jad-"

"Jadi lo bisa nemuin gue dan caper ke gue?" potong El. Ia menatap Rea sejenak dan memilih menyalakan motornya. El kemudian pergi meninggalkan Rea sendirian di jalanan.

¸,ø¤º°'°º¤ø,¸

"Dikira gue ngestalking dia apa? Kayak nggak ada urusan lain aja." Rea menjadi kesal karena El.

Kini Rea harus berjalan sekitar tiga puluh menit sebelum akhirnya sampai di rumah Lingga. Sesekali gadis itu mengecek ponselnya, siapa tahu ia mendapat jaringan untuk memesan ojek online.

"Harus sabar, orang sabar adalah pemenang." Rea menyemangati dirinya sendiri.

Setelah enam menit, Rea akhirnya mendapatkan sinyal kembali. Ia tersenyum kemenangan lalu mulai membuka aplikasi ojek online.

"Loh? Kok nggak bisa?" Rea mulai mengetuk dan menggoyang-goyangkan ponselnya berharap itu akan berhasil. Tak lama setelah itu muncul notifikasi dari operator. Kuotanya telah habis.

"Yah. Harusnya dari awal gue kepikiran buat ngecek kuota nih." Rea sekali lagi hanya menerima nasib dan menghela napas.

#heloww... chapter ini lumayan pendek hehe... Btw bantu vote ya guys ;) okyyy see you•

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang