Setelah mencari ke beberapa tempat, akhirnya El menemukan keberadaan Rea. Rea terlihat sedang membaca novel di perpustakaan.
Tanpa banyak berpikir, El langsung memasuki perpustakaan dan menuliskan namanya di buku kunjungan perpustakaan.
"Hai," bisik El sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rea.
Rea hanya mengangguk singkat dan masih fokus dengan novelnya. El memperhatikan Rea secara intens. Rea terlihat tenang dan tidak terganggu sama sekali dengan kehadirannya.
El memilih untuk menunggu Rea menyelesaikan bacaan novelnya, baru ia akan mengajaknya berbicara.
Suasana perpustakaan yang sepi dan tenang telah membuat El mengantuk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja untuk digunakan sebagai bantal. Kemudian El kembali menatap Rea
Rea menatap sejenak ke arah El yang sedang tertidur. Gadis itu tersenyum kecil.
Lima belas menit berikutnya, Rea telah menyelesaikan bacaannya. Ia menatap jam tangannya. Pukul 16.45.
"Gue ketinggalan bus. Padahal gue tadinya mau naik bus karena pulang telat," pikir Rea. Ia menoleh sejenak ke arah El. El tertidur pulas.
Rea sedikit menggeser kursinya,
lalu menghadap ke El. Sepertinya, alur mimpi El sudah berganti menjadi mimpi buruk. Tampak dari raut wajahnya yang sedikit menegang.Rea mengulurkan tangannya ke kepala El lalu menyisir pelan rambut pacarnya itu. Raut wajah El berubah menjadi tenang kembali.
Rea tersenyum kecil sambil menatap El selama beberapa menit. Rea bahkan tak sadar bahwa El telah bangun dari tidurnya dan menggenggam tangan Rea.
"Mau pulang?" ucap El dengan suara serak. Rea sedikit terkejut tetapi tetap mengangguk.
"Ayo, gue anterin." El mengambil tas milik Rea dan menarik tangan si pemilik, membawanya menuju parkiran.
"Lo bawa mobil?" Rea menatap mobil yang ada di depannya saat ini.
"Yah, seperti yang bisa lo liat." El menaikan bahunya dan tersenyum.
El membukakan pintu untuk Rea lalu Rea masuk ke dalam mobil.
Rumah mereka cukup jauh dari sekolah. Sekitar dua kilometer dari sekolah. Waktu yang cukup untuk El berbicara dengan Rea.
"Jadi, lo mau ngomong apa?" Rea memulai.
El menatap Rea sejenak lalu kembali fokus dengan jalanan di depannya.
"Bentar lagi ultah sekolah. Lo tau kan?" Rea mengangguk sambil menatap El. Menunggu El melanjutkan perkataannya.
"Gue dipilih buat tampil di acara itu. Dan gue.... Gue dijadiin pemeran utama sama temen gue." El mulai ragu untuk melanjutkan perkataannya. Tetapi ia harus melanjutkannya.
"So, lo mau nggak jadi pasangan gue pas tampil?" El melambatkan laju mobilnya sambil menunggu balasan dari Rea.
Rea tampak berpikir sejenak sambil mengernyitkan dahinya.
"Lo kenapa harus nanya kayak gini ke gue? Bukannya lo bisa chat aja? Lo tau kalo gue nggak bisa nolak kan? Karena mereka taunya gue pacar lo." Alih-alih memberi jawaban, Rea malah balik bertanya.
"Ini bukan soal reputasi lagi, Rea." El menghentikan mobilnya lalu menatap Rea.
"Terus apa?" Rea menatap laki-laki di sampingnya itu.
El tampak terintimidasi dengan tatapan tersebut, tetapi tetap berusaha menjawab. "Sesuatu yang lain." El bergumam.
Rea semakin bingung. "Ini masih tentang masalah pasangan dan reputasi kan? Gue nggak bisa nolak juga walaupun lo ngasih gue pilihan," ucap Rea.
"Bukan, Rea! Ini tentang gu-" Belum sempat El menyelesaikan perkataannya, Rea telah memotongnya.
"Tuh, bener kan. Lo udah tau gue pasti bakalan jadi pasangan lo karena status gue adalah pacar lo." Rea sedikit meninggikan nada bicaranya.
El sudah semakin kesal karena Rea tak memberi dirinya kesempatan untuk menyelesaikan ucapannya.
"Gue mau lo jadi pasangan gue karena gue mau, Rea! Bukan cuma soal status pacaran itu doang atau bahkan tentang reputasi lo!" Rea sedikit terkejut dan membeku. Bukan karena nada bicara El, tetapi karena maksud dari perkataan El barusan.
El menarik kedua tangan Rea menggenggamnya dengan lembut. Ia menghela napas dan mulai menatap Rea.
"Gue bisa aja milih cewek lain, Re. Tapi gue tetep milih lo. Bukan karena reputasi lo sebagai orang yang selalu dapet nomor satu atau yang selalu dapetin apa yang lo mau. Tapi karena perasaan gue yang buat gue milih lo." El menjelaskan dengan tenang.
Rea bingung harus mengatakan apa saat ini. Ia masih terkejut dengan pernyataan El.
"Jadi, lo mau?" El kembali bertanya.
Ada keheningan sejenak sampai Rea mulai mengangguk sekali. El tersenyum lega dan berterima kasih pada Rea.
Sepuluh menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah Rea. Keheningan pecah ketika Rea memulai kembali percakapan.
"Kapan mulai latihan?" Rea melirik El yang terdiam di sampingnya.
"Seminggu sebelum PTS sama pas class meeting. Nanti latihannya setiap sore. Gue usahain buat nggak ganggu waktu lo belajar," jelas El.
Rea berpikir sejenak lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Kalo gitu makasih ya, El. Hati-hati di jalan." Rea mencoba melepas seatbeltnya tetapi tidak bisa.
"Kenapa?" El melihat Rea yang kesusahan melepaskan seatbeltnya.
"Kayak macet gitu seatbeltnya, El. Bantuin dong." Rea menyerah dan menatap El.
El turun dari mobilnya lalu membuka pintu mobil di samping Rea. Ia mencoba menekan seatbelt tersebut agar terbuka namun tidak bisa. Setelah beberapa kali percobaan akhirnya seatbelt tersebut bisa terbuka.
Tanpa disadari jarak mereka terlalu dekat. Rea menahan napas saat melihat wajah El yang berada tepat di depan wajahnya. Jarak mereka hanya beberapa inci.
Rea kemudian mengalihkan pandangannya, sementara El mundur dan menegakkan badannya.
"Hati-hati," ucap El tiba-tiba.
"Lo yang hati-hati, El." Rea menahan tawanya.
"Oh, iya. Gue yang hati-hati." El menepuk dahinya pelan setelah menyadari kebodohannya.
Rea tersenyum kecil lalu mengucapkan terima kasih lagi pada El. El mengangguk dan kembali ke kursi pengemudi. Kemudian El mulai melajukan kendaraannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen Fiction"Let's play a game," ucap gadis di depannya. El langsung menaikkan satu alisnya. Ia membiarkan gadis itu menyelesaikan perkataannya. "It's easy. You just need to find me in real life." Wajah gadis seketika berubah menjadi blur. El terbangun dari m...