Masalah

278 15 2
                                    

Setelah kejadian seminggu lalu, Chika dan Fiah benar-benar menjauhi Rey.

Ajakan hang out dan lain sebagainya tak di hirau oleh kedua gadis itu.

Hingga suatu hari, ketika kami sedang makan di salah satu caffe. Ya kami, hanya aku, Chika, dan Fiah.

Kami tercengang melihat siapa yang sedang berpelukan mesra dengan seorang gadis di ujung pojok sana.

Tak kuasa, air mataku jatuh untuk kedua kalinya. Untuk laki-laki.

Aku benci! Aku benci di khianati! Kenapa aku selalu di khianati??

Aku berlari menjauhi caffe dan di susul oleh Chika dan Fiah.

Kami berhenti di sebuah taman bunga.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Sebisa-bisanga. Sehancur-hancurnya.

Apa lagi? Apa lagi salahku?

"Kurang ajar si Rey! Harusnya aku menghajarnya tadi" Fiah sudah mulai tak sabar dan naik pitam.

Aku segera menahan lengannya ketika dia terlihat beranjak. Aku tahu kemana arah dia akan pergi.
Walau dia pandai berkelahi, namun dia tidak pernah berkelahi dengan laki-laki. Aku khawatir itu akan melukainya.

Kami segera kembali ketika terlihat langit sudah mulai gelap.

Sepanjang malam, aku tak henti memikirkan rasa sakit ini.
Hatiku rasanya sudah tak berbentuk lagi.

Rey dari tadi menghubungiku tanpa dosa!
Geram, aku kembali menghubunginya.

"Kita putus"

Tit tit tit

Aku sengaja tak membiarkan dia berbicara sedikitpun.
Rentetan pesan singkat dan telpon dari nya tak aku hiraukan.
Terserah! Aku tak peduli.

Aku terlelap dengan mata yang sembab akibat semalaman menangis.

Keesokan harinya, khawatir aku tak bisa membuka mata, aku malah tak mau bersekolah.
Namun, ibu terus mendesakku di balik selimut.
dengan terpaksa aku bergegas kesekolah walau terlambat.

Sekarang adalah jam olahraga. Pasti, pak Musa sudah ada. Huft.. aku tak sanggup menerima hukuman.

Aku berjalan melewati koridor sekolah. Namun nampak belum ada tanda anak XI IPA 1 olahraga.

Ketika aku melewati kelas XI IPA 5, mataku terbelalak kaget melihat kejadian di hadapanku.

Aku berlari sekuat tenaga.
Namun, setibanya disana, Rarra menahan lenganku.

"Biarkan saja dia mati disini" desis Rarra tajam

"Aku tidak memikirkan tentang dia! Aku memikirkan tentang Harly dan Alif! Mereka bisa masuk penjara dan di keluarkan dari sekolah"

Nampaknya mereka tidak mempedulikan ucapanku. Terlihat mereka masih membiarkan Alif dan Harly menghajar Rey hingga hidungnya keluar darah, matanya membiru, seragamnya robek, bahkan dia sudah terkapar disana.
Dan setelah puas, mereka berdua lalu menarik kami pergi.

Naas memang!
Kami sekarang sedang duduk di kantin, dan seperti tidak terjadi apa-apa, mereka malah tertawa bahagia.
Aku mendelik jengkel.

"Kalau kalian di keluarkan dari sekolah bahkan di penjara bagaimana??" Bentakku pada kedua lelaki di hadapanku ini.

"Yasudah, tinggal keluar dan mencari sekolah baru. Dan soal penjara, paling 1 bulan. Kan kami di bawah umur" bela Alif ringan.

Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang