2. Hadiah Lomba

67 6 1
                                    

Dirumah, ayah merasa khawatir karna putrinya belum juga pulang. Sedari tadi pria berkumis tebal itu duduk di kursi rotan yang berada teras rumah dengan pandangannya tak lepas dari pagar kayu setinggi dada yang menjadi akses utama memasuki pekarangan rumahnya.

"Udah mau maghrib anak itu kok belum pulang juga. Gak tau ayahnya khawatir apa ya?" Gerutu ayah dengan wajah tegasnya.

Baru saja bibir itu berucap, sebuah honda CB 100 milik Kai berhenti di depan pagar kayu itu. Ayah pun langsung beranjak dari duduknya dan menatap tajam kedua anak muda yang sedang berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Mereka terlihat berjalan beriringan dengan tangan Kai yang menuntun si Aki, motor kesayangannya.

"Assalamualaikum, yah," salam Rai sembari mencium punggung tangan kanan Husein.

"Hem, wa'alaikumsalam," jawab sang ayah dengan ketus.

"Hallo, om," sapa Kai yang juga menyalaminya.

Husein hanya memberikan lirikan sinis saja pada Kai.

"Abis darimana?" Kata Husein dengan tatapan yang terus menajam.

"Kan Rai udah bilang tadi pagi. Rai abis kerja kelompok," jelas Rai.

"Sama anak ini?" Ketus sang ayah melirik kearah Kai yang sedang pecicilan matanya.

"Iya, yah," jawab anak gadis itu.

"Udah sore, sana pulang!" Usir pria berkumis tebal itu pada Kai.

Kai pun langsung berpamitan setelah itu. Dia tau betul kalau Husein tidak suka ada tamu yang datang kerumahnya di jam-jam menjelang maghrib ini. "Iya, om. Kai pamit pulang dulu ya. Assalamualaikum," kata Kai.

"Wa'alaikumsalam," jawab Rai dan Husein yang langsung masuk ke rumah tanpa menunggu orang itu pergi.

"Hati-hati ya, Kai," ucap Rai sembari melemparkan senyum manisnya.

Kai pun mengangguk dan berkata, "besok Aq jemput kamu lebih awal. Biar gak kayak pagi tadi," ujarnya.

Rai pun mengangguk.

Lalu, Kai pun menumpaki Aki. Perlahan, roda Aki berputar dan melaju meninggalkan tempat itu. Disaat itulah, Rai baru masuk kerumah.

"Yah, Aq punya sesuatu buat ayah," kata Rai yang baru saja masuk rumah.

"Apa?" Tanya Husein yang hendak ke kamar.

Lalu, Rai pun menunjukkan piala dan piagam penghargaan atas kemenangannya di lomba menyanyi tadi. Rai memberitahunya dengan perasaan gembira sekaligus bangga akan kemenangannya itu. Ia juga berharap, sang ayah akan merasakan hal yang sama dengannya. Namun, itu hanya sebuah keinginan yang tak akan terjadi.

"Apa ini, Rai?" Tanya Husein sembari memegang piala itu.

Dengan senang hati Rai memberitahu ayahnya tentang piala itu. "Hadiah lomba menyanyi, yah. Rai dan temen-temen menang lagi," jawab Rai penuh suka cita.

Lantas saja amarah Husein terpancing kala itu. "Berapa kali ayah harus ngomong ke kamu, Rai, stop nyanyi! Nyanyi itu gak ada gunanya! Lebih baik kamu fokus belajar, supaya kamu dapet beasiswa masuk universitas kedokteran nantinya. Bukan nyanyi-nyanyi gak jelas kayak gini!" Seru pria bertampang galak itu seraya membanting piala tersebut.

"Deg," hati Rai bak ditusuk pedang yang tajam dan panjang kala itu. Matanya pun tak bisa lagi membendung air yang hendak jatuh ke pipi mulusnya.

"Ayah boleh gak suka sama musik, tapi ayah gak berhak ngelarang Rai buat benci juga sama musik," ucap Rai yang sudah banjir air mata. "Piala ini mungkin enggak berguna bagi ayah. Tapi ini sangat berarti bagi Rai, dan juga teman-teman Rai," kata yang memelan. "Rai kecewa sama ayah. Rai gak suka sama Ayah yang selalu begini. Rai punya mimpi sendiri, yah. Rai gak mau jadi dokter! Rai mau jadi penyanyi terkenal!" Tegasnya seraya masuk kedalam kamarnya bersama piala yang sudah pecah menjadi tiga bagian dengan air mata yang sulit sekali untuk surut dari matanya.

Impian Dalam Mimpi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang