Bel pelajaran ke 5 berbunyi tak lama setelah itu. Rai dan Kai bergegas masuk kelas dan siap menerima pelajaran berikutnya. Hingga waktu belajar mengajar pun usai. Para siswa berhamburan keluar dari gedung sekolah itu. Tak terkecuali Rai dan Kai yang sudah menyelesaikan masalahnya. Rai bisa kembali tersenyum kali ini. Semua berkat Kai. Jargon yang selalu Kai katakan benar-benar ampuh dan nyata adanya.
Sebelum pulang ke rumah, Kai mentraktir Rai makan bakso di tepi jalan. Dengan senang hati Rai menerima tawaran itu. Terlebih lagi setelah menghadapi persoalan di hari ini, perutnya terasa sangat lapar.
"Makasih ya, Kai. Udah traktir gue makan disini," kata Rai disela makan.
"Hem, sama-sama. Mau nambah lagi enggak?" Tawar Kai yang terlihat sudah menghabiskan 2 mangkuk bakso.
"Kagak lah. Ini udah cukup kok," sahut Rai sembari mengunyah.
"Hem, oke deh. Gue mau nambah lagi nih," ungkap pemuda tersebut seraya mengangkat tangan dan memanggil penjual bakso itu. "Bang. Satu mangkuk lagi ya," katanya sembari mengisyaratkan dengan jari telunjuknya. Penjual itupun mengangkat kedua jempol, dan mengatakan "oke" padanya.
"Ish, banyak banget lo makannya. Belum makan berapa hari, lu?" Cetus Rai meledek.
Kai pun menjawab dengan seriusnya. "Gue belum makan dari kemaren tau," jawab Kai sembari menggigit kerupuk yang sudah dilumuri kuah bakso olehnya.
"Lah, kok bisa?" Respon Rai menatap heran wajah sang sahabat yang terlihat menikmati makanannya sedangkan sendok penuh miliknya yang sudah siap mengantarkan makanan ke dalam mulutnya harus terhenti di tengah jalan .
"Iya lah," respon Kai pelan. "Asal lo tau ya. Gue itu kepikiran terus sama lo. Lo pasti semalem nangis bae kan?" Tutur Kai yang terus menggigit kerupuk ikan di tangannya.
"Hem, iya," jawab Rai tak bersemangat. "Tapi lo kok kepikiran sama gue si? Terus kok lo tau kalo gue semalem nangis?" Tanya Rai heran.
"Ya elah, Rai. Gue kan sahabat lo. Hati kita itu udah nyatu. Jadi bisa saling rasa," jelasnya.
"Hem, lo emang sahabat ter-the-best gue, Kai. Gue bersyukur bisa kenal sama lo," ungkap Rai dengan mata berkaca kaca.
"Hem, sama," jawab Kai dengan singkat.
~~~~~
Di ruang tamu, Husein terlihat sedang fokus membaca surat kabar yang tak sempat ia baca pagi tadi. Dengan bantuan kacamatanya, tulisan kecil di surat kabar itu kini terlihat jelas baginya.
"Klek," suara pintu yang terbuka. Mata pria dewasa itupun langsung menatap ke arahnya.
"Eh, Rai. Akhirnya kamu pulang juga," kata Husein seraya melipat kertas koran itu dan bangkit dari duduknya.
Dengan malas Rai mencium punggung tangan kanan ayahnya sembari mengucapkan salam. Husein pun menjawab salamnya sambil mengusap lembut rambut Rai yang terurai panjang.
"Mandi sana, ayah mau ajak kamu ke supermarket," jelas Husein pada putrinya lembut.
Kekecewaan yang masih bersinggah di hati Rai membuatnya menolak ajakan itu. "Rai enggak mau ikut, yah. Banyak tugas!" jawab Rai beralasan.
"Cuma sebentar kok, sayang. Lagian ayah enggak tau keperluan rumah apa aja. Jadi ayah minta kamu ikut," bujuk pria berkumis itu.
Rai menghela nafasnya dan mengiyakan ajakan itu dengan terpaksa.
Dengan menggunakan motor matic merek vario-nya, Husein dan Rai sampai di pusat perbelanjaan. Tak ingin berlama-lama dengan sang ayah, Rai langsung memasukkan semua barang yang biasanya ia beli untuk memenuhi kebutuhan selama seminggu ini kedalam keranjang belanjaannya. Tanpa berkata, maupun meminta tolong ayahnya untuk membawakan keranjang tersebut yang nampak berat. Setelah hampir setengah jam disana, Rai bersama sang ayah pun terlihat pergi meninggalkan tempat itu.
Kondisi jalanan di malam itu terlihat sepi, padahal waktu baru menunjuk pukul tujuh malam. Angin berhembus dengan kencang dan menerpa wajah cantik Rai yang merasa tertekan jika berada di dekat pria berkumis itu. Sesekali dirinya membenarkan posisi duduknya yang berubah karna banyak polisi tidur dijalan gang sempit menuju rumahnya.
"Kamu masih marah sama ayah, Rai?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari bibir pria itu yang sedari tadi mengamati tingkah putrinya itu.
Rai hanya diam dengan matanya yang terus memperhatikan jalanan seolah tak mendengar suara itu.
"Ayah minta maaf karna kejadian kemarin. Ayah hanya ingin kamu fokus sama pelajaran kamu saja. Supaya-,"
"Supaya Rai bisa lulus dengan nilai sempurna, dan setelah itu Rai bisa dapet beasiswa kuliah di universitas kedokteran. Lalu Rai dapet gelar dokter, dan impian ayah tercapai. Itu kan yang mau ayah omongin?" Kata Rai menyela penjelasan dari sang ayah. "Rai bosen denger itu semua! Udah lah, enggak usah bahas masalah yang kemarin. Percuma aja. Enggak akan ada gunanya juga!" Seru gadis itu membungkam mulut sang ayah.
Sesampainya dirumah, Rai langsung masuk ke dalam kamarnya dan menjatuhkan tubuh kecilnya di atas kasur yang sudah sedikit keras sembari meneteskan beberapa butir air mata. Hati Rai memang sangat rapuh. Terlebih lagi jika dirinya mengatakan kata-kata yang kasar pada ayahnya. Dia selalu menangis setelah itu. Rai memang tidak menyukai sikap ayahnya yang selalu menentang keinginannya, tetapi dia tetap menyayangi Husein sebagai orang tua tunggalnya.
"Rai, boleh ayah masuk?" Kata Husein meminta ijin pada putrinya dari balik pintu kamar Rai yang tertutup rapat.
Tetesan air mata Rai pun terhenti kala mendengar suara itu. Dengan cepat ia menghapus jejak air matanya itu dan bangkit dari posisi tidurnya.
"Ayah masuk ya, Rai?" Ucap Husein yang tak kunjung mendapat jawaban dari Rai juga. Perlahan pria itu membuka pintu kamar Rai dan menerobos masuk tanpa ijin dari sang pemilik ruangan itu.
"Teh," tawar Husein sembari menyodorkan secangkir teh hangat pada Rai.
Rai pun menerima teh itu dan meminumnya tanpa mengucapkan terimakasih pada orang yang telah membuatkannya.
Keheningan terjadi lama diantara mereka. Rai sebenarnya ingin mengatakan sesuatu pada ayahnya, tetapi ia tak cukup berani melawan rasa malunya. Husein pun disana hanya fokus menikmati tehnya saja. Sepertinya dia menganggap kamar itu bak cafe yang menjual berbagai minuman dan dia menjadi pelanggan disana.
"Yah," ucap Rai memecah keheningan diantara mereka.
"Hem," respon Husein menatap wajah sang putri dengan penuh pertanyaan.
"Yah, Rai minta maaf," kata Rai sembari menundukkan kepalanya seperti terdakwa yang mengakui kesalahannya.
"Minta maaf? Untuk apa?" Tanya Husein yang kini menatap wajah putrinya semakin dekat dan tajam.
"Untuk perkataan Rai tadi. Rai rasa, Rai udah kelewat batas. Harusnya Rai gak ngebentak ayah kayak tadi. Rai minta maaf, yah. Pasti ucapan Rai selalu buat ayah sedih. Rai emang bukan anak yang selalu bisa nurutin apa kata ayah, tapi Rai sayang sama ayah," kata Rai dari hati yang terdalam.
Husein terharu mendengar penjelasan putrinya itu. Dia langsung memeluk Rai dan mengatakan kalau dirinya sudah memaafkannya. Air mata Rai pun tak tertahankan kala itu. Dosa terhadap ayahnya seolah hilang dan terhapuskan karna kata maaf itu. Disaat itu juga Husein mengatakan kalau dia memang salah selama ini. Tidak seharusnya dia memaksa Rai untuk melakukan apa yang tidak dia inginkan. Namun tetap saja Husein mengatakan kalau dia ingin putri kesayangannya menjadi seorang dokter. Alasan kalau Rai satu-satunya yang menjadi harapan bagi keluarga pun dikeluarkannya. Rai hanya diam tak menanggapi ucapan Ayahnya itu dan memilih menikmati pelukan hangat dari sang ayah yang sudah lama ia rindukan.
Terharu gak si bacanya?
Orang tua kalian kayak Husein gak?
Apapun itu, tetap sayangi orang tua kita ya!
Komen Next buat lanjut ke part berikutnya!
Follow dan Vote juga ya!
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Impian Dalam Mimpi (Selesai)
Fiksi RemajaAresha Raiqa Shafiyah atau kerap dipanggil Rai merupakan murid SMA Tunas Jaya kelas XII IPA 1. Gadis berpostur tubuh mungil dengan rambut hitam panjang dan bergelombang ini mempunyai segudang prestasi. Menjadi seorang penyanyi terkenal adalah cita-c...