"Hai, boleh gue duduk disini?" Kata seorang pemuda yang tiba-tiba berada di depan Rai.
Rai nampak mengerutkan keningnya saat mendengar suara itu. Ia tak langsung menjawab pria itu, tetapi ia terlihat menggeser posisi duduknya seolah mengijinkan pemuda itu untuk duduk di sebelahnya.
Tanpa ragu pemuda itupun duduk menjejeri Rai. "Kamu Rai, kan? Anak XII IPA 1?" Ucap pemuda itu sembari menatap wajah Rai yang ternyata sangat cantik jika dilihat dari dekat.
"Eum iya, gue Rai. Lo siapa ya? Maaf, gue gak bisa liat soalnya," jelas Rai singkat.
"Hem, kenalin gue Dhaisa. Murid baru di kelas lo," jawab pemuda itu sembari menjabat tangan Rai dengan paksa.
Rai terlihat bengong saat tangannya dipegang pria itu. Rasanya, dia seperti pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Kejadian yang membuat jantungnya berdebar begitu cepat dan pipinya berubah warna menjadi merah. Apalagi kalau bukan kejadian saat dirinya bertemu dengan Kai untuk pertama kalinya.
Saat itu, tepatnya 4 tahun lalu, Rai sedang berjalan dengan membawa dua kantung besar berbahan kain di tangan kanan dan kirinya. Kantung itu berisi bahan pokok yang baru saja ia beli dari pasar. Hari itu adalah hari minggu. Dimana semua sekolah dan instansi pemerintah libur. Cuaca terik di pagi hari membuat Rai berkeringat dan mudah lelah. Jarak dari rumahnya menuju pasar terbilang jauh. Memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk sampai disana jika menunggang kendaraan umum. Jika berjalan, yah bisa diperhitungkan sendiri waktunya.
"Huft, panas banget si pagi ini. Gak kayak biasanya," kata Rai sembari mengelap keringat yang mengalir dari wajah cantiknya. "Mana uangnya abis lagi. Gak bisa bayar angkot," gerutunya ngos-ngosan.
Perjalanan Rai terus belanjut. Sudah setengah perjalanan ia lewati. Tenggorokannya terasa sangat kering. Andai ada minuman yang bisa ia teguk saat itu, pasti rasa hausnya akan pergi.
Barang belanjaan yang lumayan berat juga menjadi faktor terkurasnya tenaga Rai dengan cepat. Bagaimana tidak? Tangannya yang kecil itu harus menanggung beban dari 3 kg beras, 2 lt minyak, 1/2 kg tepung terigu, 1/2 kg gula pasir, telur 1 kg, dua ikat sayuran hijau, dan bumbu masak seperti bawang putih dan merah, cabai, garam, dll. Hem, berasa mau copot saja tangannya.
Jalanan yang cukup ramai membuat Rai kesulitan untuk menyebrangi jalan. Dan pada saat ia memiliki kesempatan untuk menyebrang, ia berjalan secepat mungkin tanpa hati-hati. Alhasil kakinya itu tersandung dan membuatnya terjatuh. Kedua kantung besarnya pun menghantam tanah. Begitupula dengan lututnya. Untung saja dia sudah berada di tepi jalan. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada gadis itu.
Gadis itu merasa sangat sial pagi ini. Tetapi sebelum ada seorang pemuda yang tiba-tiba menghampirinya.
"Mba, enggak papa mbak?" Kata pemuda itu sembari membantu Rai berdiri.
"I-iyah. Saya enggak papa," jawab Rai sembari membersihkan lutut dan telapak tangannya yang kotor sehabis mencium tanah yang berdebu itu.
"Ini punya mbak?" Tanya pemuda itu seraya mengambil belanjaan Rai yang sudah rusak.
"Iyah itu punya saya," sahut Rai yang nampak kesakitan karna lututnya tergores akibat kejadian tersebut.
"Lain kali kalo jalan hati-hati dong, mbak. Jadi enggak jatuh kayak tadi," pesannya perhatian.
"Iyah. Makasih ya, udah bantuin aq," kata Rai sembari mengangkat wajahnya menatap pemuda itu.
"Sama-sama," jawab pemuda itu sembari tersenyum.
"Gue Kai," ucap pemuda itu sembari mengulurkan tangannya pada Rai.
Rai pun sempat terdiam beberapa detik hingga tangannya perlahan-lahan mendekati tangan pemuda itu sampai akhirnya kedua tangan mereka saling berjabatan dengan erat. Disaat itulah ada sebuah energi yang menyetrum hati Rai. Dia menatap tangannya dengan pandangan kosong. Jantungnya berdetak cepat dan sebuah rasa timbul di hatinya. Wajahnya yang semula lelah, kini berubah menjadi berseri bahagia hingga pipinya pun nampak mengenakan blashon alami.
"Gue Rai," jawab gadis itu lantang sembari tersipu malu.
"Oh, Rai. Salam kenal dari gue ya," timpal pemuda itu sembari melepas tangannya.
Rai pun hanya mengangguk dan tersenyum kecil padanya.
Setelah itu, Kai pun mengantar Rai sampai kedepan rumahnya. Pertemuan tak disengaja itu membuat kedua orang ini menjadi semakin dekat bahkan bersahabat. Eith, bukan bersahabat. Lebih tepatnya menyatukan kedua sahabat yang terpisah. Ya, Kai dan Rai sudah bersahabat dari kecil. Namun saat usia mereka 9 tahun, keduanya harus berpisah. Kai pergi ke luar kota bersama orang tuanya. Melanjutkan sekolah disana, sekaligus membangun hidup baru disana. Sedangkan Rai tetap berada di tanah kelahirannya hingga saat ini.
"Rai, lo kenapa?" Tanya Dhaisa menyadarkan Rai.
"Eh, iya. Gue enggak papa," jawab Rai seraya melepas tangannya.
"Oh, gue pikir kenapa. Lagian lo kek bengong gitu. Lagi ada masalah?" Tutur Dhaisa.
"Hem, enggak ada," respon Rai singkat.
Pemuda itupun hanya mengangguk ragu saja."Lo tau enggak? Gue itu pengen banget jadi penyanyi terkenal. Tiap ada kesempatan buat gue mimpi, pasti gue mimpiin itu. Tapi sayangnya, mimpi gue gak dapet restu dari bokap. Bokap gue itu benci banget sama musik, entah apa alasannya gue gak tau sampe sekarang. Yang pasti, bokap gue, nyuruh supaya gue, jadi dokter. Dan gue akhirnya nyerah buat kejar impian gue. Gue sekarang pengen jadi dokter. Gue mau kejar impian terakhir ayah. Tapi dengan kondisi gue yang sekarang, gue enggak yakin itu bakal bisa kekejar," ungkap Rai yang tanpa ragu menceritakan kisah hidupnya.
"Lo enggak boleh pesimis gitu, Rai. Tuhan pasti bakal kasih jalan buat kamu. Dan asal lo tau, cerita hidup gue juga enggak jauh beda dari lo. Gue enggak dibolehin jadi atlit sepakbola sama orang tua gue. Katanya masa jayanya seorang atlit itu enggak lama. Bisa diitung sama jari. Beda dengan pengusaha, yang namanya bisa terus bersinar di masyarakat. Gue sama sekali enggak ngurusin mereka si. Gue enggak perduli mereka mau ngomong apa. Lagipula yang berhak nentuin masa depan kita kan diri kita sendiri. Bukan orang lain. Dan orang tua gue juga sama sekali enggak pernah peduli sama gue. Jadi buat apa coba, gue nurutin mereka?" Terang Dhaisa.
"Apa yang lo omongin emang bener, Dhai. Gue juga pernah mikir begitu. Tapi setelah gue kehilangan ayah, gue sadar kalo apa yang gue pikirin itu salah. Gue nyesel banget pernah berantem sama ayah gue gara-gara itu. Gue pengen banget ngulang semuanya, Dhai. Tapi itu gak mungkin terjadi kan? Dan sebelum lo nyesel kayak gue, mending lo turutin apa mau orang tua lo deh. Gue yakin mereka itu sebenernya perhatian dan sayang sama lo, cuma lo belum liat aja. Turunin ego lo, dan mulai ngertiin orang tua lo mulai sekarang. Lo pasti bakal bahagia," papar Rai panjang lebar.
"Hem, gue baru pertama kali ketemu orang kayak lo, Rai. Gue salut sama lo. Gue juga kagum sama pemikiran lo yang dewasa banget. Jujur, gue seneng bisa ketemu dan kenal sama lo. Semoga kita bisa temenan ya,"
"Aamiin," respon Rai seraya melepas senyum.
Tak lama setelah itu, Kai datang bersama aki si motor kesayangannya dan memboncengkan Rai sampai kerumah.
~~~~~~
Duh..makin penasaran gak si sama kelanjutannya?
Yuk komen Next yang banyak!
Biar tambah semangat ngetiknyaFollow, share, dan juga vote-nya jangan lupa ya🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Impian Dalam Mimpi (Selesai)
Teen FictionAresha Raiqa Shafiyah atau kerap dipanggil Rai merupakan murid SMA Tunas Jaya kelas XII IPA 1. Gadis berpostur tubuh mungil dengan rambut hitam panjang dan bergelombang ini mempunyai segudang prestasi. Menjadi seorang penyanyi terkenal adalah cita-c...