Rumah Rai yang sempat ditinggalkan beberapa bulan terakhir ini, akhirnya bisa kembali ditempati. Kerinduan akan memori Sang Ayah membuat Rai pulang dan meninggalkan istana megah milik keluarga Ahmed yang sudah membiarkannya bersinggah beberapa waktu di sana sebagai tuan putri.
Dibantu kedua temannya, Rai membersihkan seluruh isi rumah yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba karna lumayan lama terbengkalai. Supaya lebih cepet, mereka pun berbagi tugas. Karna apapun yang dikerjakan secara gotong royong hasilnya akan lebih efektif dan efisien bukan?
"Huft..capek juga ternyata ya," kata Dhaisa seraya duduk di atas lantai yang baru saja kering setelah dipel Rai tadi.
"Heeh, ngakunya aja pemain bola disuruh buat bersih-bersih aja langsung loyo begitu," sindir Kai yang sedang sibuk menata meja dan kursi di ruang tamu.
"Yee, namanya juga capek. Lagian beres-beres sama main bola di lapangan kan beda jauh," sahut Dhaisa yang tak terima.
"Serah lu dah. Males debat sama orang kek lu!" Tutur Kai.
Dhaisa pun hanya mengangkat bahunya sembari menyeringai.
Dari dalam dapur terlihat jelas Rai sedang membuatkan minuman untuk kedua temannya. Tak lupa pula ia menyiapkan kue basah sebagai teman minuman itu yang baru saja ia beli di warung dekat rumahnya.
"Guys, nih minum dulu. Pasti pada capek kan?" Kata Rai sembari menaruh nampan berisi tiga gelas es teh dan sepiring kue basah yang berbeda jenisnya di atas meja yang baru saja selesai ditata oleh Kai.
"Wah, ini baru mantap," sahut Kai seraya mengambil satu gelas es teh dan segera meneguknya sampai habis.
"Huu dasar si Kai! Tadi ngeledek gue katanya kecapean. Pas dikasih minum malah paling cepet ngabisinnya," protes Dhaisa.
"Yee, suka suka gue dong. Orang gue haus kok," sahut Kai sembari menaruh gelasnya yang sudah kosong diatas meja.
"Kai itu kalo sekali minum bisa 2 gelas sekaligus. Lo enggak usah heran kalo dia minumnya cepet dan banyak! sambung Rai menengahi.
"Hem, bener tuh kata Rai. Lo itu enggak tau apa-apa soal gue. Jadi enggak usah sok nilai gue!" timpal Kai sembari mengunyah kue.
"Hem," respon Dhaisa dengan raut wajah kesal.
Satu persatu kue diatas piring itu berkurang. Gelas yang tadinya penuh pun kini habis tanpa sisa. Hanya sebuah tetesan air bekas hawa dingin dari es itu yang mengelilingi gelas mereka. Rasa lelah karna hampir setengah hari ini mereka lalui dengan membersihkan rumah pun terbayarkan dengan hidangan makan siang yang Rai siapkan. Ada tumis kangkung dan balado telur di sana. Dari tampangnya makanan itu terlihat enak. Terlebih lagi aroma dari bumbu-bumbunya tercium sangat harum. Hem, pasti rasanya lezat sekali.
Tak menunggu lama Kai dan Dhaisa bergantian mengambil makanan itu. Mereka terlihat sangat tak sabar untuk mencicipinya. Rai yang melihat hal itupun merasa senang. Semoga saja rasanya bisa sesuai dengan ekspetasi mereka.
Suara sendok yang beradu di atas piring pun kini terdengar sangat jelas. Ekspresi wajah Kai dan Dhaisa nampak begitu menikmati masakan itu. Sepertinya mereka suka dengan hidangan yang Rai buat.
"Wah, ini bener-bener masakan lo, Rai? Enggak nyangka, gue, lo bisa masak seenak ini," ucap Kai yang tak ingin berhenti mengunyah.
"Iyah, enak banget rasanya. Pake resep apa si?" Sambung Dhaisa penasaran.
Rai yang mendengar kalimat pujian dari kedua temannya pun merasa senang sekaligus malu. Lihat saja pipinya sekarang yang memerah seperti tomat, dan matanya yang tertunduk sembari tersenyum. Pujian pertama yang mampu membuat Rai jadi seperti itu. "Syukur deh kalo enak. Ini resep dari ayah gue. Resep cinta namanya," jawab Rai seraya tersenyum tipis.
"Ooh, gitu," sahut Kai dan Dhaisa secara bersamaan.
"Resep cintanya pake punya siapa? Punya gue atau dia?" Lontar Dhaisa seraya melirik kearah Kai yang sudah fokus makan.
"Enggak jelas banget si lo! Ya tentu aja bukan dari cinta lo ataupun Kai. Tapi dari persahabatan kita!" terang Rai sembari tersenyum menatap wajah kedua sahabatnya bergantian.
Kai pun tersenyum lebar kala mendengar penjelasan temannya itu, sedangkan Dhaisa terlihat tersenyum terpaksa. Nampaknya dia diam-diam menyukai Sang Sahabat. Tapi entahlah, hanya dia saja yang tau.
"Rai," panggil Kai yang terlihat ragu untuk berbicara.
"Hem," respon Rai sembari meneguk air putih yang sudah berada di kerongkongannya.
"Lo kan udah sembuh sekarang, apa lo masih mau nyanyi setelah ini?" Tanya pemuda itu serius.
Mendengar pertanyaan itu, Rai langsung terdiam seraya menatap wajah Kai dengan dalam. Hembusan nafasnya pun mengawali perkataannya. "Iya. Gue bakal stop nyanyi buat ayah," terangnya membuat Kai dan Dhaisa merasa sedih. "Tapi, itu bakal gue lakuin kalo ayah masih hidup. Sekarang ayah udah enggak ada. Dan gue bakal lakuin apa yang buat gue bahagia. Karna gue yakin, ayah juga pasti bahagia kalo ngeliat anaknya bisa bahagia," lanjutnya mengubah kesedihan kedua temannya menjadi senyuman bahagia.
Tanpa aba-aba keduanya pun memeluk tubuh Rai dengan rasa tak percayanya. Pelukan itu jelas saja diterima dengan baik oleh Rai. Senyuman menyelimuti wajah ketiga remaja itu.
Kai yang masih tak percaya Rai bisa mengubah keputusannya secepat ini pun tanpa ragu menanyakan alasan di balik keputusan ini pada Rai. Rai pun menjelaskan kalau dia bertemu dengan Sang Ayah disaat dia terpengaruh obat bius pasca transplantasi korneanya berlangsung. "Raih semua mimpimu selagi masih ada waktu. Bahagiakan ayah dengan kebahagiaan yang kamu rasakan. Jangan buat kesalahan yang akan kamu sesali seumur hidup" begitulah pesan yang ia dapatkan dari Sang Ayah di alam bawah sadarnya.
Pengen cepet-cepet baca part selanjutnya deh. Karna bakal ada pemantik masalah baru😬
Next gak nih?
Coba tulis di kolom komentar dong!Vote & share juga jangan ampe ketinggalan juga ya🤗
See you🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Impian Dalam Mimpi (Selesai)
Teen FictionAresha Raiqa Shafiyah atau kerap dipanggil Rai merupakan murid SMA Tunas Jaya kelas XII IPA 1. Gadis berpostur tubuh mungil dengan rambut hitam panjang dan bergelombang ini mempunyai segudang prestasi. Menjadi seorang penyanyi terkenal adalah cita-c...