3. Bad Feeling

1.5K 156 3
                                    

Dalam hati (Name) tak henti-hentinya mengucap syukur ketika ia dapat bergerumul dengan kasur tercintanya di tambah semalam ia tertidur nyenyak.

Setelah kejadian perkelahiannya dengan si preman, (Name) pulang dengan was-was. Ia takut sang ayah memergoki anak gadisnya pulang larut, jika seperti ini ayahnya pasti akan berceramah panjang kali lebar kali tinggi. Semalam ia memasuki kawasan rumah megendap-endap takut ketahuan sang ayah, hingga sesampainya di dalam kamar ia tak peduli pada barang belanjaannya yang telah berantakan di depan sebelah ranjang. Ia lelah.

Mendusel-duselkan kepalanya di bantal, pandangannya mengarah pada jam weker di sebelah ranjang. Pukul 7 pagi, ia ingin pergi keluar hari ini.

*****

"(Name)"

"(Namee)"

"Iya Ayah... ada apa?" (Name) berlari, dengan wajah segar sehabis mandi menghampiri ayah yang berada di dapur.

"Belanjaannya mana?"

Ckiit~

Tindakan mengerem yang mendadak hampir membuatnya oleng ke depan, (Name) lupa belanjaannya masih berada di kamarnya. "I-itu... di kamarku ayah",

"Di kamar? Bagaimana bisa?",

"Aku pulang malam karena keasyikan berbelanja ayah, jadi semalam aku langsung ke kamar dan aku lupa. Iya lupa..." bohong (Name). Dengan raut wajah yang meyakinkan ia menatap pada sang ayah, padahal semalam baru saja ia berkelahi. Maaf Ayah, batin (Name). Ayah lalu menghela napas.

"Benar itu (Name)?", "Benar ayah" ia menggelengkan kepala heran akan tingkah putrinya.

"Ambil lalu tata di kulkas, setelah itu sarapan", "Baik bos" (Name) memberi hormat kepada ayahnya seperti paskibra. Segera ia menata barang belanjaan yang di belinya. Untuk sekarang ia bersyukur, ayahnya tak menaruh curiga dengannya. Bermodal alasan serta wajah di buat semeyakinkan, ayah mempercayainya. Senyum lega terpatri di wajah ayunya, ia berusaha tenang.

.
.
.

"Selamat makan",

"Selamat makan",

Ayah dan anak itu dengan khidmat sarapan, roti gandum bakar serta secangkir kopi hitam dan segelas susu. Tak ada obrolan dari keduanya, karena ayah membuat peraturan untuk tak berbicara ketika sedang makan.

Selesai sarapan (Name) mencuci peralatan makannya, ia berjalan ke arah sang ayah yang sedang membaca koran pagi ini.

"Ayah aku ijin ke perpustakaan kota" ayah masih fokus menatap koran, sedikit membenahi kacamatanya. Sebenarnya (Name) heran mengapa ayahnya setiap kali membaca koran menggunakan kacamata baca, padahal setiap pemeriksaan mata matanya normal. Dan jawaban ayah di luar dugaan, 'Its my fashion dek, its my style.' Untung bukan kacamata kuda... eh- kacamata bulat seperti Pak Gojo tetangga sebelah rumahnya, yang narsis dari ujung kepala hingga kaki. Aku suka~
Bisa-bisa ayah senarsis tetangganya tersebut. (Name) memaklumi, karena ya... sifat sablengnya menurun dari ayah. Peace.

"Dengan siapa?" tanya ayah.

"Sendiri",

"Perlu ayah temani?",

"Tidak. Tidak usah ayah. Ayah istirahat saja di rumah, lagipula ini hari libur" ujar (Name) dengan bahu terselempang tas kecil, ia duduk di lantai mengenakan sepatu.

"Hati-hati",

"Iya Ayah" (Name) mencium pipi ayahnya.

"(Name) pergi dulu" belum sampai ia keluar dari pintu, ayah berucap.

"Jaga diri",

(Name) mengulas senyum lalu memberi hormat, "Baik bos."

*****

That... | BONTEN X Reader  (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang