13. Moment

818 105 4
                                    


Jari-jari panjang itu berulang kali menekan gawai, wajahnya yang tampan serius menatap layar ponselnya. Rindou tengah asyik bermain dengan game online miliknya. Sang kakak, Haitani Ran duduk di sampingnya sembari meneguk wine. Ia menawarkan wine,
"Mau?" Rindou menggeleng masih fokus dengan permainannya. Ran tidak heran, toh jika Rindou mau anak itu pasti akan mengatakannya. "Aniki... apa kau punya rokok?" panjang umur, batin Ran.

Ran menggeleng, seperti yang dilakukan Rin tadi. "Tidak baik untukmu" Rindou mendengus, "Tidak baik tapi kau menawari wine, apa bedanya? Sesat" Ran terkekeh melihat adiknya. Sebenarnya ia tak melarang, umur mereka juga sudah legal. Hanya saja Ran tetap menganggap Rindou adik kecilnya, yang (tidak) manis. Mau di gemas pipinya, ia hampir mendapatkan kecupan sepatu boot dari Rindou. Bukankah manis.

Sanzu yang kebetulan lewat sambil mengunyah pil menatap sofa yang diduduki kedua Haitani Bersaudara tersebut, ia duduk disebelah Ran. Wajah Sanzu sudah sangat kacau, mulutnya meracau. Tatapan Sanzu terarah pada Rindou yang asyik dengan game tidak menyadari kehadirannya, bibirnya menyeringai. Ia berniat menjahili si kecil Haitani, apalagi bila Rin sudah dalam mode marah. Makin mengasyikan.

"Rindou-chan~..." Sanzu mencoba menggoda Rin.
"Mau permen?" Rindou menatapnya sekilas, tak tertarik. "Permen ini sama dengan satu gelas susu" ujar Sanzu meniru salah satu iklan televisi, di telapak tangannya terdapat beberapa 'permen' yang di maksudnya.

"Mata kau. Mana ada pil itu kau samakan dengan segelas susu?" Sanzu tertawa, sedikit pancingan umpannya sudah disambar. Kemudian ia bertanya melalui tatapan mata kearah Ran, "Dia sedang ngambek",
"Ooh... Rindou-chan ngambek" suara Sanzu yang di buat-buat gemas membuat Rindou merinding geli, embel-embel "chan" darinya membuat ia bernafsu menggeplak kepala Sanzu.

Pemuda rambut merah muda tersebut berdiri lalu pindah disebelahnya. Yang awalnya duduk di tengah-tengah antara Ran dan Rindou kini berubah menjadi Sanzu, Rindou dan Ran. Alias Rin berada di tengah-tengah.

Sanzu duduk mendempet Rin, menghimpit bungsu Haitani. Ia menggerak-gerakkan badannya, berusaha membuat Rin goyah. Ingin sekali Rin melempar ponselnya ke kepala Sanzu, membuat benjolan sebesar bola pingpong sebagai hiasan di kepala merah mudanya.

Ran yang menyadari adiknya diusili oleh Sanzu menghela napas, sudah kebiasaan kedua makhluk ini. Mereka tak bisa akur. "Bisakah diam?" ucap Ran menyela keduanya. Rindou yang sudah risih sejak tadi mulai menyenggol kasar Sanzu dan mengabaikan gamenya, ia di bela Ran.

"Aku juga mau ikut" Ran mulai melakukan hal yang sama seperti Sanzu, yakni menghimpit Rindou. Keduanya bersamaan menghimpit badan Rin yang notabene kurus dibandingkan sang kakak, walau tak sekurus dan sejangkung Sanzu.

Kusut wajahnya tak terbendung pada Rindou, ia kira kakaknya akan memarahi Sanzu tetapi ternyata tidak. Justru kakaknya mengikuti Sanzu, ia yang sudah tidak tahan kelakuan absurd dari keduanya menyenggol keras lengan mereka. Kakaknya sama saja senang sekali menggodanya. Kemudian Rin pergi menuju kamar dengan derap langkahnya yang besar, lalu menutup pintu kamarnya dengan keras dimana mengundang tawa Ran serta Sanzu.

*****

Langit cerah, suasana tenang nan sunyi, pepohonan rindang serta angin yang berhembus menerbangkan rambut kedua insan disana. (Name) menatap nisan di depannya tertulis, Harumi Aina. Ibunya.

Ditatapnya lekat batu nisan tersebut, seolah-olah ia tengah menatap wajah sang ibu. Kata ayah ibunya cantik dan manis, ibunya juga memiliki lesung pipit yang menurun ke (Name).

Wajahnya berbentuk oval, kedua mata lebar dengan iris cokelat madu, hidungnya kecil, bibirnya tipis berbentuk hati. Kata ayah, (Name) adalah jiplakannya secara fisik.

"Ayah ingin bercerita" ujar ayah tiba-tiba, (Name) menatapnya bersiap mendengarkan.

"Dulu ketika ayah ketika masih remaja, ayah berpikir bagaimana merebut hati ibu. Dia sosok perempuan yang istimewa, ayah bahkan mengalahkan pemuda-pemuda yang menyukai ibu. Berusaha merebut hatinya, dan bersyukurnya ayah ketika kami menikah. Betapa senangnya ketika kami berdua akhirnya bisa mengikat janji sehidup semati, kebahagiaan kami terasa lengkap terlebih Kami-sama juga menghadirkan seorang bayi" ayah memandang kearah (Name).

"Ketika ibu mengandungmu, kami berdua sangat senang. Kami di percaya untuk menjadi orangtua. Ia bahkan bertanya-tanya akan mirip seperti apa kau nanti? Apa makanan kesukaanmu? Apa hobimu sekarang? Apa kau sudah memiliki kekasih? Sungguh... kau belum lahir saja ibu bertanya demikian, apabila kau lahir apakah kau langsung diwawancarai?"

"Hari-hari dilalui menunggu kelahiranmu, kami berdua berusaha memberikan yang terbaik. Akhirnya saat malam musim semi kau lahir, tangisanmu membuat kami menangis bahagia. Ia bahkan tak percaya melihat bayi kecil dipelukannya"

"Kami-sama menyayangi ibu, Aina. Ia menitipkan pesan pada ayah, untuk menjagamu. Putri ibu dan ayah"

Semenjak itu Ayase memutuskan untuk menjadi single parent, (Name) yang masih kecil membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Ia titipkan pada neneknya, nenek merawatnya sepenuh hati hingga ia besar. Saat Ayase kembali ia terkejut putrinya sudah remaja, kesibukan yang dimiliki membuatnya pulang ke rumah sang nenek setahun sekali. Walau begitu, keduanya memiliki ikatan batin yang baik. Meski pada awalnya (Name) sedikit rewel ketika mengetahui ditinggal sang ayah pergi bekerja.

(Name) berusaha menahan tangis, tetapi air matanya menetes begitu saja, bibirnya ia gigit. Ia memeluk Ayase, betapa beruntungnya dia dibesarkan dengan kasih sayang dari orang-orang tersayangnya. Ia bersyukur bahwa ayah begitu sayang padanya.
"Terimakasih.. terimakasih ayah..." Ayase membalas pelukannya, lalu mengusap air matanya. Keduanya beranjak pergi dari sana.

.

Deburan halus ombak menerpa kaki telanjang (Name), angin pantai berhembus menerbangkan rambutnya yang tergerai indah. Raut wajah yang sedih tadi kini berganti senang ketika memandangi laut, saat menunduk ia menemukan cangkang kerang di bibir pantai. Kosong tak berpenghuni. Dimanakah pemiliknya?

"Kau sangat menyukai laut"
"Juga suka tidur dimana pun kau berada" (Name) tertawa.
"Pasti dari ibu" tak henti-henti bibirnya menyunggingkan senyum. Ayase memperhatikannya ketika putrinya sudah berjalan jauh darinya,
"Dari ayah" (Name) yang mendengarnya, merengut lucu. "Tidur itu sifat alami manusia ayah",

"Benar tetapi ini lebih parah, hibernasi namanya" (Name) lantas berlari mengejar sang ayah yang menghindari kejarannya. Ayase tertawa terbahak-bahak ketika (Name) berucap bahwa ia mewarisi pelor dari ayahnya.

Manis, untuk sementara ini bersama mereka bercanda tanpa adanya rasa pilu yang sempat menerpa.





Selamat Malam...
Hai... That... chapter 13 sudah rilis. Terimakasih sudah menunggu, maaf beberapa hari ini aku kena block writer 🙃

Happy Reading~....
Semoga kamu menyukainya
Jangan lupa meninggalkan jejak <3
Terimakasih...

Kalau kamu suka, bisa kamu tambahkan dalam daftar cerita👉👈

Note : Semoga bertemu chapter selanjutnya

That... | BONTEN X Reader  (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang