Net selalu memiliki dua pilihan saat istirahat siang: membungkus jatah kantor untuk disantap malam nanti atau memakannya di kantin bersama rekan yang lain. Dampaknya pun ada dua: tidur meringkuk di sofa ruang tengah atau membahas gosip terpanas yang lagi wara-wiri. Sebagai editor, ia enggak pernah berniat ketinggalan berita, tapi perutnya berbunyi nonstop dan melilit tak karuan kalau terus-terusan terjaga. Alhasil, nomor dua sering menjadi prioritasnya. Tapi, hari ini berbeda. Ia justru membawa kotak dari Bibi Koki ke meja makan tim redaksi.
"Gimana, Net?" sapa Leona, wanita berambut pendek dan berkalung salib, redaktur pelaksana di Daily of Gorgeous.
"Apanya, Mbak?"
"Kabar lo."
"Aman."
Lelaki berkumis tipis yang mengunyah buncis hampir tersedak saat Net menjawab demikian. "Udah ngaca belum, kau?"
"Emang kacanya udah lo balikin, Bang?"
"Bener juga. Pantaslah kalau kau ini nggak sadar diri betul. Lihat, rambutmu sudah macam sarang burung, tau? Apa pula wajahmu itu? Kantung mata kok hitam kali, kayak pantat wajan saja."
Net tersenyum tipis, lalu menggeleng. Saat di kamar mandi tadi, tepatnya setelah setoran editan terbaru sebelum perilisan, ia sudah memperbaiki tampangnya di depan wastafel. Ia sudah mencuci muka, memakai lipbalm enam ribuan--hasil tebus murah pembelian mi dan minyak di minimarket, dan menyisir rambut dengan sela-sela jari yang dibasahi parfum oplosan. Tapi, tampaknya semua itu belumlah cukup. Ia masih saja terlihat seperti mahasiswa tingkat akhir yang begadang semalaman gara-gara tugas akhir--mengenaskan.
Cuma untuk catatan, rona hitam di bawah mata itu sudah bawaan dari lahir. Benar-benar bukan salahnya. Memang muncul ketika lelah saja, tapi sungguh dari kecil memang begitu. Hah, memikirkan ini hanya membuat Net kembali mendengkus.
Lelaki itu lantas mengaduk sayur asam, sambal kecap, dan cacahan perkedel jagung, sebelum memakannya satu suap. Hm, perpaduan ini enggak akan pernah salah. Ia bahkan sampai merem-melek menikmatinya. Empat orang di sekeliling Net--dua di depan dan satu di samping--pun turut semringah dan saling pandang.
"Oiya, dengar-dengar lo join tim event buat bazar kosmetik di depan plaza. Iya, Net?"
"He'eh, Mbak. Dari rundown acara keliatannya nggak susah dan sore udah beres. Lagian, Bang Bret udah minta tolong dari jauh-jauh hari. Nggak enak nolaknya."
"Kapan?"
"Weekend minggu depan."
"Oh, kirain besok atau lusa gitu."
Net meminum teh dinginnya, lalu bertanya, "Kenapa emang, Mbak? Tim kita mau ada perlu, ya?"
Leona menggeleng. Senyumnya belum luntur. Lesung pipi yang hanya ada di sisi kanan itu tampak bertengger manis. Tapi, Net malah makin mengerutkan kening saat menatapnya. Ia juga menggaruk tengkuk.
"Enggak, kok. Join aja nggak apa-apa, yang penting kerjaan editorial udah beres." Wanita tertua itu memberikan dendeng baladonya ke kotak makan Net. "Sama jangan lupa jaga kesehatan. Sekarang lo lagi demam, kan? Ngaku aja. Napas lo anget."
"Masak?"
"Iya, coba lo rasain sendiri kalau nggak percaya."
Net refleks meniup telapak tangannya dan benar saja, masih panas. Enggak heran kalau selama pengecekan artikel tadi kepalanya berat dan berkunang-kunang, berbeda dengan tubuhnya yang justru terasa ringan sekali. Kantuk yang menyerang juga enggak normal, ditambah warna pandang yang agak hitam kehijauan. Pokoknya, parah, deh. Net sendiri bingung sampai-sampai mengusap wajahnya gusar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...