Sebenarnya aku masih memiliki hak untuk berburuk sangka, apalagi gelagat Tante Ais saat menerima telepon di depan pintu agak mencurigakan. Tapi, enggak bisa dipungkiri memang kalau wanita itu benar-benar menepati janji. Dia datang pagi buta, membawakanku sekotak snack merek baru yang ternyata lumayan enak. Setelahnya dia bergegas ke tempat jemuran dan mengambil sapu, lalu membersihkan ruang tengah dan sekitar kamar yang agak berantakan karena kelakuanku--salah siapa membiarkan si unyu menggemaskan ini seorang diri. Wajah bebas makeup-nya masih fresh dan berseri, mungkin Papa sudah memberi kabar baik hari ini, meow!
Aku berjalan ke dapur, menggoyangkan pinggul dengan semangat saat Tante Ais menawarkan vitamin favoritku beberapa waktu lalu--saat masih bersama Mami. Aku pun menjilatinya dan mengeong manis, berterima kasih atas jamuan mewah itu. Tante hanya tersenyum dan mengusap buluku beberapa detik. Agak aneh sih, mengingat dia biasanya amat gemas sampai menghujaniku dengan ciuman sana-sini, tapi mungkin lagi enggak mood. Toh, siapa yang bisa haha-hihi di tengah penambalan jantung Papa? Aku saja membatalkan kencan dengan ayang karena harus melipir ke rumah Tante.
"Sudah ya, Chu."
"Meow!"
Masih kurang banyak, tapi Tante buru-buru sekali mau pergi. Sayang sekali. Padahal, bagian ujung itu paling nikmat, pusat bertumpuknya sari-sari yang turun. Tapi, enggak apa-apa. Stok dalam satu box sisa 11 sachet lagi. Bisa buat jatah dessert siang nanti. Aku pun menyingkir dan menunggu wanita itu menyiapkan tas jinjing, pasir, dan sekantong makanan kering. Dia baru memasukkanku ke sana usai semuanya benar-benar beres.
"Meow!"
Dadah, kontrakan Papa. See you!
Tante Ais membawaku menggunakan mobil ojek online. Perkiraan sana, soalnya dia duduk di belakang dan enggak bicara sama sekali dengan Abang Sopir. Entah karena ngantuk atau kecapekan, Tante beberapa kali oleng dan menabrak jendela. Dia sontak terkesiap dan mendengkus panjang. Kalau dilihat-lihat, tampangnya saat ini persis seperti Papa saat penagih utang meneror seharian. Bedanya, Tante masih bernyawa dan enggak suram-suram amat. Papa mana bisa seperti itu, meow!
Berada di keranjang yang enggak tertutup sempurna dan masih bisa melihat sekitar sebenarnya not bad, tapi bukan seleraku. Aku enggak suka sensasi pengap yang mengerubungi bulu-bulu. Kakiku juga tergencet enggak karuan dan enggak bisa bergerak bebas. Mau maju atau mundur pun bakal menyundul tepian tas yang terdapat ritsleting. Itu sakit, btw. Lebih baik diam, tapi aku risi, woy!
Perjalanan dari kontrakan Papa ke rumah Tante Ais terbilang cukup dekat. Mungkin dia menyewa mobil biar enggak perlu angkat-angkat barang sebanyak ini--bukan karena jauh. Aku tiba dan diturunkan di ruang tamu setelah wanita itu membayar ongkos, sekitar dua puluhan ribu. Abang-abang tadi langsung berpamitan dan pergi.
Seperti milik Papa, di sini juga sama sepinya. Apa gaya hidup 'sendiri' lagi nge-trend di kalangan mereka? Aneh sekali. Aku pun keluar dan berlari-lari kecil di sekitar sana setelah Tante Ais membuka tas. Dia beralih menata barang di samping kandang lusuh--kusebut begitu karena besinya berkarat dan penghuninya galak. Aku kurang nyaman dengan tatapan persia tua di sana, seakan aku mau mengambil tempatnya saja. Tenang, aku enggak berminat, meow!
"Halo? Iya, Tor. Udah di rumah, kok."
Ow, ow, lagi-lagi nama itu disebut-sebut. Aku berjalan mendekat, menggerakkan ekor ke kiri-kanan dan diam menyimak. Dia sampai meminta kucing yang dikurung terus itu untuk tutup mulut. Aku sampai kaget. Baru kali ini mendengar suara Tante Ais yang cukup tinggi.
"Mau apa kau ke sini?" tanya si om-om setelah lelah mengeong--memohon agar dilepaskan.
"Tanya saja sama majikanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...