Kontrakan Papa memang cukup menyedihkan. Masuk ke gang kecil, agak kumuh, sempit, panas, bocor lagi. Kurang apa? Tapi, enggak masalah, kan yang penting bebas spesies lain yang mengancam nyawa, enggak kayak di sini. Argh, baru masuk di depan pintu saja, aku bisa mencium bau bulu-bulu musuh beterbangan, plus kotorannya yang enggak karuan itu--punyaku masih wangi, pede dulu. Kalau begini ceritanya, aku enggak mau keluar dari tas. Titik!
"Mau minum apa?"
"Air putih aja."
"Nggak usah sungkan."
"Lagi ngurangin konsumsi gula."
"Oke, deh."
Papa membawaku duduk di kursi kecil dekat kasur. Indekos Om Tori ini boleh juga. Ukurannya di atas standar, sampai muat kulkas mini, meja panjang, lemari, TV, dan space kosong yang lumayan luas--termasuk bed cover dan kamar mandi dalam pula tentunya. Nah, hal yang ku-notice paling membahayakan, mengkhawatirkan, dan membuat tubuhku bermekaran adalah adanya kandang, liter box, dan mainan anjing di ujung ruangan. Sungguh, pasti ada makhluk berbulu mengerikan di situ. Sial!
"Oiya, gue punya mini pomeranian, lho."
Terima kasih, tapi sungguh siapa yang mau berkenalan dengannya? Dilihat dari segi mana pun, aku sedang bersembunyi sampai tergencet baju ganti, mana mau berurusan dengan makhluk itu? Meow! Papa malah diam saja saat Om mengeluarkan segumpal bulu hidup miliknya dan membawa ke hadapanku. Benar-benar, woy, apa motivasi orang ini? Aku dan dia berbeda, kami enggak akan berjodoh. Enggak cocok.
"Guk!"
"Meow!"
Kan, betina ini terus menyalak. Padahal tubuhnya jauh lebih kecil dariku, tapi suaranya nyaring sekali. Mana dia terus meronta-ronta untuk dilepaskan lagi. Kenapa? Mau apa? Jangan mengira pejantan tangguh sepertiku bisa tergoda dengan anjing cebol, jabrik, mahal, dan berisik sepertimu. Meow!
"Guk!"
Om Tori melepaskan anak perempuannya itu hingga bisa berkeliaran bebas dan tentu saja, Papa juga ikut-ikutan. Hah, apa yang bisa kuharapkan dari para lelaki ini? Sekarang, anjing yang sepertinya lebih muda dariku itu mengepung habis-habisan, berusaha menjilat, menggigit, dan mengajak bermain. Sekali lagi, terima kasih karena sudah berminat dan menyadari daya tarik seekor Chuchu, tapi aku benar-benar enggak berselera.
Meow! Aku capek lari-larian di sini, hei!
"Jelly, jangan gitu dong ke temennya."
Teman? Dibanding itu, aku lebih suka dipanggil 'sejawat senasib', sama-sama hewan peliharaan berkocek tinggi yang harga pakan pokoknya bersaing dengan nasi Padang tiga bungkus. Satu lagi, perkara perawatan dan jaminan pasarnya yang bisa diadu, bolehlah. Selebihnya, jangan menyamakan modelan punuk unta dengan kutil kerbau seperti ini. Jauh!
Syukurlah Om Tori menemukan kewarasannya dan kembali memasukkan anjing bernama makanan itu ke kandang. Akhirnya aku bisa berguling-guling santai tanpa diinterupsi siapa-siapa. Sesekali Papa mengecek dan mengusap lembut. Dari telapak tangannya yang hangat dan enggak gemetaran, kayaknya dia sudah baik-baik saja.
Ah iya, aku belum meminta maaf perihal insiden turun tangga tadi pagi. Papa pasti melupakannya, kan? Dia bukan lelaki yang perhitungan. Semoga.
"Lo ada denger kabar Jan, nggak?"
Papa tersenyum, tapi kelihatannya enggak begitu ikhlas. Dia juga berdecak dan menggeleng tipis. Kasihan, jadi kangen. Aku baru tahu kalau Om di depanku ini juga pernah berhubungan dengan Mami sebelumnya. Ya, memang, Mami jarang membawa siapa pun bertemu denganku sih, tapi kalau benar statusnya juga 'mantan', kenapa aku enggak diungsikan ke sini saja? Secara Om Tori lebih berpengalaman dalam mengasuh hewan. Eh, enggak jadi, kan ada anjing itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...