Seumur-umur baru ini Net meratapi cakaran di lengan, betis, dan dekat dagunya. Bukan karena sensasi perih atau bekas luka melintang yang enggak keren sama sekali, tapi rasa bersalahnya pada Chuchu yang membuncah. Andai sisa upah lembur enggak dihabiskan buat snack basah dan tabungan grooming enggak dipakai menebus obat, ia pasti bisa membawa kucing itu ke pet shop. Plus kalau saja anak bulunya itu enggak kecebur adonan bakwan, ia masih bisa menunda waktu untuk mengumpulkan uang sampai lusa--atau beberapa hari lagi. Hah, jadi semuanya salah.
Net keluar dari kamar mandi, sekadar memakai bokser dan berbalut handuk. Ia lekas ke ruang tengah, mengobrak-abrik laci nakas kedua sampai menemukan salep serbaguna yang dibeli dari pasar. Entah kedaluwarsa atau belum, ia mengoleskannya ke kulit yang memerah--di bagian pinggir. Daripada enggak sama sekali, pikirnya. Lagi pula, kata bapak-bapak yang gaya marketing-nya setara lulusan S3, obat ini super-awet dan dijamin manjur dalam sakit apa pun.
Lelaki itu pun menoleh, memeriksa Chuchu yang uring-uringan di dalam kandang. Ia terus-menerus mengeong, mungkin meminta untuk dilepaskan. Tapi, Net enggak bisa melakukannya. Ia takut ditinggal kabur, apalagi setelah penganiayaan enggak disengaja di kloset tadi. Di sisi lain, juga enggak tega. Bulu Chuchu yang semula sehalus sutra jadi mengembang kaku dan menusuk. Ia bingung harus berbuat apa agar setelah kering, kucing itu tampak cantik lagi.
"Iya, Mbak?" Usai melamun sebentar, Net mengangkat telepon yang berasal dari Leona.
Jadi, gunanya hari libur itu apa?
Net mendengkus, lalu berjalan ke kamar lagi. Ia mengambil dan memfoto dokumen yang mungkin pimpinannya inginkan.
"Yang ini?" tanyanya memastikan.
"Lain, ini mah konten ke YouTube. Yang QnA sama Mrs. Nura itu lho, Net."
"Bukan gue kali Mbak yang handle."
"Masak, sih? Terus siapa, dong? Lo ke sini aja bisa, nggak? Beresin ini doang, kok. Mau, ya? Please?"
Sudah diduga, ujung-ujungnya pasti begini. Jawaban Net juga ketebak sekali. Ia enggak pernah menolak, apa pun itu. Mau jatah liburnya dikorupsi dan garapan anonim ini enggak ada hasilnya, ia tetap mengiakan, apalagi ada kata 'please' di akhir kalimat Leona. Makin-makin iba-lah Net mendengarnya.
Ia pun lekas membawa Chuchu ke dalam rumah--semula dijemur. Bulunya masih setengah basah. Raut mukanya juga belum seramah sebelumnya. Net memaklumi itu. Sudah risiko yang harus ia terima.
"Maaf, ya. Sini, gue sisir dulu."
"Meow!"
"Gue enggak berniat nyakitin lo."
Perlahan, Net memegang Chuchu dan menggendongnya. Tapi, kucing itu langsung lari menuju pojok dapur. Entah karena cara menyikatnya agak abal-abal atau masih trauma diguyur segayung air dingin. Semua karena Net menciduk bak yang salah. Ia pun pasrah, enggak akan mengejar lagi. Toh, sekarang Chuchu sudah di dalam. Ia enggak perlu khawatir.
"Diem di rumah, ya. Gue ke kantor bentar."
Net lantas mengganti air minum Chuchu dan mengisi penuh mangkuk pakannya. Ia pun berganti pakaian--hanya mengenakan celana jeans dan hoodie hitam--lalu mengunci seluruh pintu plus jendela. Sebelum keluar, ia berpamitan dengan kucing itu dulu, meski hanya dibalas ngeong-an yang amat menakutkan.
Chuchu lagi mode galak.
Sesuai permintaan Leona, Net memakai ojek online. Wanita itu berjanji akan mengganti ongkosnya yang enggak seberapa--tapi berharga untuk Net. Katanya, ia bisa mengantuk sampai tumbuh uban kalau menunggu bus langganan Net di jam-jam nonaktif seperti ini. Enggak sepenuhnya benar, cuma Net memilih diam dan langsung menurut. Saldo aplikasi yang terisi sekian ribu-lah yang membungkam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...