Malam Jumat bukan hari yang buruk untuk berkencan di atap rumah Pak RT, apalagi tadi sempat hujan deras, jadi hawa dingin masuk menembus bulu dan menyelimuti tulang. Sangat cocok untuk berpelukan. Tapi tenang, aku enggak modus. Manis masih aman di sampingku. Dari tadi dia sibuk menjilati ikan kering yang ditemukan di genteng. Kayaknya Bu RT terburu-buru saat sampai ada yang ketinggalan diangkut. Syukurlah, kan rezeki. Aku enggak minta apa pun, selain informasi tentang Tante Ais.
"Cewek baik-baik biasa, Chu. Nggak aneh-aneh."
"Bener, meow?"
"Iya, yang kutau dia masih sering bantu-bantu warga kompleks depan kalau ada hajatan. Orangnya supel, banyak ibu-ibu yang suka. Niat jadiin mantu gitu, lah. Dia juga pernah memberiku makan."
"Iya?"
Manis mengangguk, lalu mengeong. "Dia bukan orang jahat, Chu. Kamu nggak perlu khawatir."
Mana bisa begitu?
Aku ditinggal tanpa diberi kabar apa-apa. Setelah Om Tori tiba-tiba mendobrak pintu dan mencuri Papa--entah dibawa ke mana yang jelas bukan ke pasar malam karena tutup, tahu-tahu pas sore si wanita itu datang. Mereka sama, dengan santai keluar-masuk rumah orang saat cuma ada pangeran imut yang enggak ngerti apa-apa ini sendirian di kontrakan. Siapa yang memintanya mampir? Papa? Enggak mungkin. Aku yakin dia masih bergulung-gulung di kasur. Untuk apa pula dia kemari? Aku hanya tahu Tante sempat masuk kamar Papa, lalu pergi lagi--makanya sekarang aku bisa ngapel. Kadang negative thinking itu perlu. Meow!
"Aku tau papamu suka dengannya."
"Aku juga."
Kalau ini aku harus jujur. Soalnya gerak-gerik Papa terlalu jelas dan mudah ditangkap. Yah, cuma dia agak pecundang, jadi enggak jadian-jadian, deh. Saat aku sakit dulu, Papa juga enggak ragu menitipkanku padanya. Sebut saja modus, aku enggak peduli, tapi yang jelas ini tanda kalau Tante Ais merupakan salah satu orang yang dipercayainya. Aku pun begitu, seharusnya. Tapi, gelagat dengan Om Tori dan ke kamar tadi cukup mencurigakan. Sayang sekali aku dikurung di kandang dan enggak bisa mengintip sama sekali. Mereka baru melepasku saat keluar rumah.
"Mungkin dia mengambil baju ganti papamu. Nggak lebih."
"Itu artinya Papa nggak pulang lagi nanti."
"Meow, dan bisa jadi besok-besok juga masih begitu."
Aku langsung menoleh, enggak suka. "Kok doamu gitu sih, Manis."
"Dulu aku udah ngasih peringatan ke kamu, kan?"
Tentu aku ingat karena jujur sampai sekarang belum menemukan jawaban yang tepat. Aku tahu Papa agak berbeda dari lelaki kebanyakan. Dia perhitungan dengan apa pun, bahkan pada dirinya sendiri--sarapan dan makan siang saja dirangkap dengan dua biji roti. Dia sangat ceroboh sampai-sampai bentuk rumah sudah mirip tempat tambal ban. Kepleset, ketimpuk, kejedot, pokoknya apa saja sudah dia rasakan. Tapi, enggak mungkin mereka berkaitan dengan maksud Manis, kan? Atau jangan-jangan karena dia ringkih seperti bayi merah? Habisnya, Papa mudah sekali terserang flu. Untuk umur seperempat abad sepertinya, itu bukan rekor atau ciri khas yang bagus.
"Kata sesepuh gang ini--yang dimaksud tetaplah kucing--Tuan Net pindah ke sini setelah orang tuanya meninggal. Dia datang sama salah satu kerabat. Nah, orang ini yang ngasih tau ke warga-warga. Dia sempat minta tolong kalau ada apa-apa suruh telpon. Cuma rumor sih, tapi dari omongan yang beredar,
Tuan Net udah sakit dari lama. Aku udah pernah melihatnya kesakitan, Chu. Jadi, percaya aja, deh.""Aku juga pernah."
"Iya?"
"Lumayan sering."
"Kalau begitu, mereka nggak bohong kan, meow?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...