Enggak ada yang lebih buruk dari keputusan Mami. Pertama, dia menghabiskan uang untuk gambling online yang ternyata kedok penipuan kelas kakap. Kedua, dia membuang makhluk menggemaskan sepertiku, padahal katanya cuma nitip, ke Tante Za begitu saja. Ketiga, dia melepas lelaki semacam Papa yang sudah mengeluarkan hampir seisi rumah untuk membantunya.
Bukan bullshit, aku pun masih malas berurusan dengannya yang super-sibuk dan ceroboh maksimal itu. Tapi, dari caranya mengikhlaskan Mami tanpa tindakan hukum dan justru mau repot-repot merawatku pas malam saja--kan siang dia kerja, Papa bukan sosok yang worth it untuk ditinggalkan. Hem, Chu, kamu makin ngelantur. Mungkin efek pelukan Papa yang terlalu barbar, sampai-sampai aku susah bergerak. Tapi, benar begitu. Papa orang baik. Lagi pula, aku sudah enggak masalah di sini. Toh, kipas angin yang banyak sarang debunya itu masih bernyawa dan kamar pengap ini ada ventilasinya.
Cuma, kalau diperhatikan, tidur Papa sangat gelisah. Mungkin tengah mimpi buruk? Aku enggak tahu, yang jelas dia miring ke kiri, ke kanan, tengkurap, lalu telentang lagi. Gitu mulu selama hampir tiga jam. Bedanya, dia masih memelukku. So sweet. Tapi, tangannya dingin dan berkeringat. Bulu-buluku menyerapnya tanpa sadar. Sekarang badanku jadi kuyup--enggak segitunya, itu terlalu lebay. Lama-lama risi kalau didekap terus-terusan.
"Meow!"
Aku pun mengecilkan badan, berusaha kabur dari pelukan Papa yang mulai melonggar. Dia lalu beralih menarik selimut dan meringkuk. Aku agak terusir saat dia berbaring miring membelakangiku. Huh, padahal tadi masih manis sekali.
"Meow!"
Aku akan meminta maaf besok pagi karena menaiki pinggang Papa dan berjalan santai menuju tengkuknya, yang ternyata sepanas tai ayam fresh--kata Bonbon, aku belum pernah menginjaknya. Napas Papa juga pendek-pendek dan dia terus menggumamkan sesuatu. Aku kurang yakin tentang apa yang dibicarakan. Hanya kata 'siap', 'laksanakan', dan 'maaf' yang terdengar berkali-kali. Kayaknya, tante-tante ibu tiri Cinderella yang mampir ke mimpinya. Kasihan Papa.
Kakiku tahan panas, kok. Sedikit. Tapi, aku enggak suka bertahan terlalu lama di daerah cekung seperti ini. Lebih baik melanjutkan perjalanan ke dahi Papa saja. Kan, benar panas juga. Sudah kuduga. Keringatnya di sini bahkan jauh lebih ramai dibanding bagian tangan dan lehernya. Aku harus bagaimana?
Apa mungkin kehadiranku juga memperkeruh masalah?
Siapa tahu, dengan Papa sendiri di dalam, dia bisa mendingan. Lagi pula, aku lapar. Tengah malam begini paling enak menyantap snack bola-bola ikan. Sayangnya, kemarin tinggal segenggam saja dan sudah kuhabiskan. Papa belum beli lagi. Boro-boro, deh. Dia pasti lupa nama mereknya. Kalaupun ingat, tag price-nya pasti bikin maju mundur. Aku sudah paham dan enggak bakal banyak gaya. Daripada dicarikan papa baru lagi, kan? Atau yang lebih parah, dititipkan ke pet shop berisi kucing ganjen kelas Jembatan Ancol.
Hah, Chuchu terlalu banyak nonton TV.
Ruang tengah ternyata enggak terlalu buruk. Lantai yang dilapisi karpet cokelat plastik ini kalau malam agak dingin dan menyejukkan. Lain kalau siang. Panasnya sampai tembus ke dalam. Aku pun bergulung-gulung di situ, memainkan segala macam yang bisa digapai. Tadi sempat ada cicak, tapi aku sedang malas menangkapnya. Nanti kotor. Belum waktunya mandi.
"Meow!"
Percayalah, sudah lebih dari satu jam aku menggigiti bantal, yang kini sudah tercetak gambaran pulau Jawa di atasnya--bekas air liur, ewh. Bunyi detik pada jarum jam makin menyebalkan karena hanya aku satu-satunya, yang menikmati itu di sini. Subuh hampir datang dan Papa belum bangun juga.
Eh, tunggu. Suara erangannya terdengar dari jauh.
Aku pun melompat, turun dari sofa dan menghampirinya. Sungguh, wajah Papa sudah seperti karakter Zombie di film-film. Dia cuma butuh sedikit luka sobekan dan bercak darah di mana-mana biar bisa mirip seribu persen. Cara jalannya sudah menghayati, kok. Tambah ganti baju compang-camping pasti sudah pantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
Ficción GeneralEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...