Chuchu | kasih sayang

205 54 19
                                    

Papa, maafkan Chuchu.

"Meow!"

Sumpah, demi Royal Canin satu kilo, aku enggak bermaksud mengacak-acak isi rumah. Beneran. Tadi, pas asyik-asyiknya bermain dengan Susan bermata satu--kayaknya kecongkel dan sungguh bukan aku pelakunya--ada laba-laba segede dinosaurus jatuh ke punggungku. Rasanya geli, aku takut, dan langsung lari begitu saja sampai menabrak tumpukan kardus berisi bekas print-print-an. Alhasil, berceceran ke mana-mana, deh.

Enggak cukup di situ, aku masih mencoba menjauh dan membentur meja kayu. Rak kaset dan buku-buku Papa pun jatuh. Bodoh, memang. Tapi, jangan salah, kakiku tadi sempat tergencet. Sakit sekali. Kukuku yang belum dipotong jadi nut-nutan rasanya. Cuma, mengeluh pun buat apa, kan? Papa sedang menahan amukannya sambil memungut satu per satu kertas di karpet.

"Meow!"

Papa sama sekali enggak menoleh, padahal aku masih di sini. Ya, meskipun nyangkut di pojok kandang karena takut disemprot, apalagi kalau-kalau dibuang keluar, aku tetap menunggu Papa memarahiku sekarang. Aku tahu aku salah, tapi tangan dan kakiku sama panjang dan barang-barang Papa jauh lebih tinggi. Lagi pula, kalau aku yang membereskannya, pasti makin enggak berbentuk dan perang dunia keseratus bisa dimulai.

Chuchu, S3 Ilmu Mencari Alasan.

"Meow!"

"Diem dulu ya, Chu."

Akhirnya Papa mau berbicara. Tapi, suaranya sangat lirih, juga bergetar. Apa dia masih sakit? Chuchu wajib dihukum! Nanti Papa berhak mengoplos pakanku, deh. Aku ikhlas lahir batin. Mau bagaimana lagi untuk menebusnya? Sudah capek kerja, eh malah kutambah dengan ini pula. Makin ambyar.

"Sini!"

Papa menyelesaikan kardus terakhirnya. Ia lalu beranjak ke kulkas dan meminum air dingin hingga seperempat botol. Aku hanya melihat dari jauh. Kandang yang besinya agak menusuk dan karatan ini 180 derajat berubah lebih nyaman dari sebelumnya. Di sini saja. Aku belum punya muka untuk mendekati Papa, padahal sudah cakep, ya.

"Gue punya sesuatu buat lo."

Sebenarnya penasaran, tapi apa enggak masalah kalau aku mendekat? Nanti kalau menubruk sesuatu lagi, bagaimana? Kan kasihan Papa. Dia saja masih berkeringat begitu. Napasnya juga enggak karuan, kayak habis nge-gym seharian--bedanya Papa enggak sixpack. Tapi, bau ikan tuna ini sangat menggoda. Aku enggak tahan.

"Meow!"

"Iya, sini, deh."

Aku segera berlari. Kali ini kupastikan mengambil rute terbaik yang bebas hambatan dan menatap jalan lekat-lekat biar enggak salah fokus. Papa segera menggendongku saat aku tiba di bawah kakinya--menjilat sebentar dan menggaruk-garuk kecil. Dia memberikanku snack basah yang biasanya dibelikan Mami. Yes, Papa enggak salah. Papa memang terbaik!

"Enak, ya? Makan yang banyak."

Tentu saja. Aku sudah lama enggak menjilati makanan ini. Papa lebih sering membelikanku pakan kering yang kerasnya seperti cobaan hidup. Untung gigiku kuat. Kalau rentan seperti Kakek Milo--kucing penjaga pangkalan gang--pasti sudah rontok parah.

"Syukurlah lo suka. Jadi nggak mubazir."

"Meow!"

Papa bercerita tentang upah lemburan dan kadar pikunnya yang beriringan. Aku mendengarkannya saja secara saksama. Sesekali dia gemas sendiri, lalu membelaiku. Kadang juga mendekap sampai hampir menggigit pipiku. Dia terus tersenyum dan menatapku hangat. Bahkan setelah membuat kekacauan di rumah seperti tadi, Papa masih mengangkat dan memelukku seolah hari esok dan selamanya kita akan tetap seperti ini.

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang