Argh, meow!
Aku enggak lagi insomnia, apalagi memikirkan jumlah kalori dalam semangkuk pakan tanpa merek, tapi Papa belum juga mengetuk pintu. Biasanya, kalau jangkrik yang nangkring di genteng sudah bernyanyi--padahal suaranya enggak bagus-bagus amat--dia sudah pulang. Maksimal terlambat tiga lagu, lah. Ini boro-boro. Sampai sepi lagi pun, aku masih sendirian. Hah, kasihan sekali perutku. Dari tadi melilit, tapi apa daya? Papa enggak punya mesin otomatis yang bisa menyelamatkanku dari kelaparan kapan saja.
Mainan dari Mami dan Tante Za enggak berbuat banyak. Aku bosan, mengitari ruang tengah dan menjelajah dapur. Enggak ada yang spesial, kecuali cicak buntung mengenaskan yang mengendap-endap di bawah rak kayu. Mungkin, dia takut ekornya kutangkap lagi, padahal mau apa yang dipegang kalau pendek begitu? Lagi pula, aku hanya pengin bermain dengannya, enggak berniat menganiaya sama sekali. Dia juga bukan seleraku.
Lagi, aku mondar-mandir di depan televisi. Manis hari ini enggak mampir ke atap. Syukurlah, berarti misi mencuri tongkol berjalan dengan baik. Good girl. Aku pun beranjak ke depan pintu, bergulung-gulung di atas keset, lalu rebahan menatap langit-langit. Mau sampai kapan seperti ini?
"Meow!"
Kantuk mulai menyerang, tapi aku enggak boleh tidur. Papa berhak disambut setelah seharian lelah bekerja. Kalau enggak ada yang memujinya, mengatakan dia telah melakukan hal yang terbaik hari ini, aku yang akan mengeong paling kencang. Aku yang akan menghiburnya sampai bisa tersenyum lepas. Aku pula yang akan menghabiskan waktu terakhirnya sebelum hari berganti dan harus berangkat lagi. Ya, walaupun setelah itu aku kembali menjadi satu-satunya makhluk imut di kontrakan ini.
Eh!
Bunyi kenop yang diputar akhirnya datang. Aku segera bangun dan menghadap depan, menunggu Papa. Dia sontak tersenyum tipis dan memanggil namaku lirih. Ah, rasanya lega sekali. Setelah melepas sepatu dan kaus kaki, dia lekas mengangkat dan membawaku ke sofa, seperti biasa.
Embusan napas Papa menabrak bulu-bulu telingaku. Auto merinding. Aku juga bisa mendengar degup jantungnya yang pelan dan konstan, tapi cukup berbeda dari sebelumnya. Apa efek terlalu banyak meminum kopi? Aku bisa mencium aroma kafein produk kemasan tujuh ribuan darinya. Atau karena dingin sampai menggigil? Tubuh Papa agak basah, antara keringat dan air hujan beradu jadi satu. Lumayan lengket, sih, tapi enggak apa-apa. Besok jadwalku mandi.
"Makanan lo habis ternyata."
Yes, Papa peka juga. Akhirnya bunyi pakan yang dituang dan membentur mangkuk terdengar lagi. Aku segera menyantapnya tanpa banyak request--walau sebenarnya pengin upgrade merek ke yang bagusan dikit. Papa cuma pernah ganti model ke harga yang dua ribu lebih mahal--masih dengan plastik transparan, entah produk dari mana.
"Sori, ya. Kalau entar lembur dadakan lagi, gue usahain buat pulang dulu, terus ngasih lo makan. Atau misal nggak sempet, gue minta tolong tetangga aja."
"Meow!"
"Kunci cadangan rumah ini gue simpen deket pot depan plang. Nggak masalah kalau ada yang tau. Paling entar ngomong ke Yaya aja. Dia, kan, suka kucing, terus pulangnya sekitar duhur. Masih polos. Nggak bakal ngapa-ngapain di sini. Toh, nggak ada barang penting juga."
Meow! Justru aku yang paling penting di sini, Papa. Bagaimana kalau bocah SD itu membawaku keluar, memamerkanku ke teman-temannya sebagai kucing jenis superior mantulity endolita--fakta mengatakan--atau bahkan sampai menculikku dan menjual ke pet shop Gang Dodol dengan harga jauh dari pasaran? Ewh, aku enggak mau turun pangkat secara murah. Sangat enggak estetik.
"Gue tidur dulu."
Eh? "Meow!"
Belum selesai bicara, Papa sudah ke kamar saja. Padahal, kan, aku masih mau gelendotan. Agenda gigit-menggigit juga belum dimulai. Enggak afdol, dong. Pesonaku perlu dipancarkan. Jadi, ya, bodo amat. Mending disusul. Aku pun ikut masuk, lalu berbaring di dadanya tanpa izin. Kupasang jurus kuda-kuda sampai pantatku menguasai perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...