Chuchu | keanehan Papa

200 56 10
                                    

Kayaknya, aku enggak melakukan kesalahan apa-apa. Sungguh. Pakan tetap rapi, buang kotoran pada tempatnya, dan enggak kelayapan. Tapi, saat Papa pulang, dia malah menyelonong begitu saja ke kamar. Sudah repot-repot menyambutnya, eh digendong pun enggak. Padahal, biasanya dia paling antusias memainkan buluku di sofa, sambil bercerita apa saja yang terjadi di tempat kerja. Apa aku bau? Perasaan teri balado yang diberikan Manis tadi pagi sudah kututup dengan snack kering rasa tuna. Lagi pula, itu enak, kok. Enggak seharusnya Papa seperti ini. Meow!

Dia keluar hanya untuk ke kamar mandi, lalu masuk lagi. Kalau sekadar mendekam di sana enggak masalah, sayangnya aku dikunci dari dalam. Kan, enggak asyik. Mau mengeong berkali-kali pun, Papa tetap diam saja. Apa kontrakan ini kuhancurkan saja, ya? Em, tapi misal begitu, Papa bakal kerepotan membersihkannya dan lagi-lagi aku ditinggal sendirian--karena dia sibuk mengurus keonaran itu. Argh, Chuchu pusing!

"Chu, jangan berisik!"

"Meow!"

Baiklah, lebih baik menyingkir saja. Aku kembali berputar-putar mengelilingi boneka buntung di ruang tengah, sedikit mencabik-cabiknya sampai kedua kaki copot semua--biar imbang. Sesekali merebahkan diri dan menatap langit-langit, menggeliat plus meregangkan otot. Dingin lantai yang dilapisi karpet seenggaknya meredakan kekesalan pada Papa. Hah, ternyata hujan sore ini terasa jauh lebih sendu.

Lagi, Papa berlari-lari kecil ke kamar mandi. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik ke sana. Aku berhenti berhitung gara-gara terdistraksi duo cicak di dekat televisi. Kali ini aku benar-benar mendekat, persetan kalau nanti dimarahi habis-habisan lagi. Suara muntah-muntahnya terdengar dari luar, lengkap dengan batuk berat dan hela napas yang cukup susah. Papa, kenapa?

"Meow!"

Papa masih enggak merespons. Sampai dia bangkit dan tertatih-tatih ke kasur pun, aku tetap diabaikan saja. Wajahnya sungguh putih pucat, seperti karakter vampir di Ganteng-Ganteng Serigala. Catatan tambahan, keringat dingin Papa amat membanjiri area punggung dan leher sampai kaus oblongnya basah kuyup. Tampangnya kusut dan lusuh, sangat memperihatinkan. Edward Cullen enggak akan related dengan penampakan ini.

Aku buru-buru mengikuti dari belakang, lalu menyelinap masuk--membalap Papa sebelum dia sadar aku ada di dalam. Bau obat langsung tercium semerbak enggak karuan. Botol putih Papa juga teronggok tanpa ditutup di lantai. Kali ini aku enggak bakal memainkannya karena tempo hari sempat dipukul dan dihukum--dikurung di kandang--selama dua jam. Pelajaran yang cukup baik, Chu.

"Meow!"

Mata Papa terpejam separuh. Dia bisa melirik, menyadari keberadaanku di sini, tapi syukurlah enggak ada drama pengusiran yang memalukan. Aku dibiarkan berdiam saja di depannya. Pengin sekali naik dan bergulung-gulung di perutnya, cuma takut, walau sebenarnya Papa juga enggak kelihatan keberatan.

Lagi, dia mendengkus, rutinitas rutin akhir-akhir ini. Aku refleks mundur saat Papa tiba-tiba duduk dan bersandar pada dinding. Entah kenapa, sejak pulang tadi, tatapannya seperti kosong dan gelisah di waktu yang sama. Papa mengembuskan napas berat, berdecak, memutar bola matanya, membentur-benturkan kepala ke dinding--enggak terlalu kencang--dan mencengkeram seprai kasur yang banyak lubang sobekan di mana-mana. Aku harus apa, meow?!

"Chu!"

Papa memanggilku? Suaranya lirih dan bergetar. Aku takut kepedean. Tapi, sepertinya enggak salah sasaran. Daripada bertanya-tanya, aku beringsut-ingsut mendekat lalu duduk di pangkuannya. Syukurlah, ternyata Papa benar-benar menginginkanku--enggak menolak sama sekali. Dia malah lekas mengusap dan membelai buluku seperti biasa. Aku merindukan sensasi ini. Sungguh.

"Meow!"

Tubuh Papa sungguh panas dan gemetaran. Demam lagi, mungkin. Aku kurang memahami penyakit manusia yang jenisnya sebanyak jumlah spesies di muka bumi ini--agak hiperbola tapi kayaknya iya. Hal yang kutahu, Papa memang mudah sakit, persis bayi merah yang dikit-dikit panas, batuk, pilek. Imunnya--kalau enggak salah--buruk sekali. Payah.

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang