Net | rawat inap

341 52 16
                                    

Usai Net bekerja, tepatnya setelah seharian membantu Bret memindahkan barang dan menata stok produk event, fokusnya terpecah belah. Setiap langkahnya terasa seperti diseret, berat dan melelahkan. Enggak terhitung berapa kali ia meringis saat meniti tiang penyangga halte busway. Sesak dan nyeri yang akhir-akhir ini melanda makin menjadi-jadi dan ia enggak tahan lagi. Belum sampai naik angkutan dan istirahat di rumah, ia terjerembap hingga membentur pijakan dekat pintu. Sontak orang-orang di sekitar mengangkutnya ke tepi dan menelepon petugas medis.

Waktu itu, sayup-sayup ia masih mendengar bunyi ambulans yang membawanya ke IGD rumah sakit terdekat. Kebetulan, tempat ini memang langganannya saat masih hobi keluar-masuk ruang rawat, masa ketika orang tuanya belum meninggalkannya pula. Ia pun menghirup oksigen lebih dalam dan menikmatinya. Semua rasa, bahkan sensasinya, enggak ada yang berubah. Bukan pertanda baik, mengingat harusnya ia enggak berhubungan dengan ini lagi, setelah menghabiskan banyak uang untuk mengganti jantung bobroknya beberapa tahun lalu. Nasib buruk memang enggak ke mana.

Mau enggak mau, Net menjalani pemeriksaan. Kata dokter, ada lubang di jantungnya dan harus ditambal, persis seperti ban motor yang kerap bocor. Paling enggak, dugaannya agak meleset. Syukurlah, Net pikir, ia perlu menunggu pasien sekarat guna melanjutkan hidup. Kan, enggak gampang mencari orang dengan mati otak dan secara ajaib memiliki kecocokan dengannya. Belum lagi prosedur donor yang lumayan panjang dan ribet itu. Ia sudah pernah melihat huru-hara tetangganya yang enggak mau jasad anaknya dibongkar untuk disedekahkan. Kalau harus mengalaminya lagi sama saja mimpi buruk.

"Saya pikirkan dulu."

Hanya itu yang ia sampaikan sebelum bermanja-manja dengan Chuchu. Selain karena masih syok, Net enggak punya apa-apa. Mau bagaimana lagi? Ia benar-benar meninggalkan rumah sakit tanpa pengobatan yang benar.

Alhasil, kondisinya drop tanpa bisa dicegah. Ia cuma bisa meminta maaf pada Tuhan dan berdoa yang terbaik, kalau-kalau dijemput dalam waktu dekat. Ia juga memanggil nama Chuchu berulang kali, memastikan kucing itu tetap bersamanya di saat-saat seperti ini. Lalu, hal yang ia ingat sebelum terkapar lenyap adalah suara Tori yang menanyakan tetek bengek absensi.

"Lo udah sadar?"

Kalimat itu merupakan pertanyaan pertama setelah penyiksaan yang menyerang sepanjang malam. Net membuka mata dan mengedarkan pandangan, yang langsung ia ralat--lekas memejamkan mata kembali--karena terlalu silau. Lelaki itu memalingkan muka ke arah berlawanan dari gorden. Ia menelan ludah saat mendapati tengah berada di ruangan elit yang enggak ada siapa-siapa lagi selain dirinya. Sial, kali ini berapa biaya yang harus dikeluarkan? gerutunya enggak mau berterima kasih pada sang penolong.

"Syukur, deh. Gue panggil dokter dulu."

Net belum bisa menjawab. Tarikan napas yang cukup berat membuatnya enggan bersuara. Kebas di kedua tangan juga menambah rasa malasnya. Ia pun melirik ke arah jarum infusnya mengalir. Ada dua jenis cairan berbeda warna yang enggak tahu-menahu apa isinya. Ia kemudian meraba dada, menghitung detak jantung yang syukurnya baik-baik saja. Masih hidup, batin lelaki itu. Tinggal menunggu waktu, ia akan kabur dari sini--sebelum tagihan kian mencekik.

"Masih nakal lagi, Net?"

Dokter yang datang bersama Tori lekas senyam-senyum saat memasuki ruangan. Net pun menyambutnya dengan nyengir sedikit. Ia pasrah saja ketika diperiksa perawat cantik yang semula berjalan di belakang. Bekas sayatan yang melintang di tubuh pun terlihat dan Tori cukup terbelalak melihatnya. Hah, aurat Net sudah terbongkar. Payah sekali.

"Jadwal operasimu sudah dibuat. Istirahat yang banyak."

Hah? Kening Net sontak berkerut.

"Jangan khawatir. Nanti Dokter dan temanmu ini yang mengurus administrasinya."

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang