Manis enggak salah, aku yang sok-sokan tebar pesona dan berlagak bisa segala hal di depannya. Beberapa waktu lalu, saat mencoba kabur, dia mengajakku berburu tikus di ledeng Pak Samat, sesepuh dusun yang disegani para kucing liar--atas jasanya bagi-bagi pentol turah dari kedai. Katanya, santapan di sana enggak kalah enak dari makan siangku. Itu mustahil. Aku tahu. Tapi, aku pengin pedekate. Cuma ya, mau bagaimana lagi? Perutku super-sensitif. Menyebalkan!
Gayaku saat menangkap dan memainkan buntut kawanan Jerry tadi masih cool dan auto jadi most wanted kucing daerah ini. Tapi, setelah Manis memintaku mencicipi mereka, aura ganteng pun langsung luntur. Ya, buluku masih mekar dan kurang perawatan sih, tapi bukan berarti aku turun pangkat sampai harus menyantap beginian, kan? Pertama, aku bukan kanibal. Kedua, belum tentu higienis. Ketiga, kasihan.
Sungguh!
Jeritan tikus yang ekornya digencet itu amat memekik telinga. Aku risi. Tapi, teman-teman Manis, termasuk dia, malah terbahak-bahak. Bahkan ada yang sudah habis dua ekor. Buset. Mereka sadis, lapar, atau doyan?
"Kamu nggak berani ya, Chu? Cemen, meow!"
Kalimat Manis inilah yang membuatku tertantang sampai akhirnya memberanikan diri mengunyah dua kaki. Sisanya, si Barong yang menghabiskan. Itu pun enggak ada rasanya. Cuma anyir, pahit, dan sedikit asin. Benar-benar bukan seleraku.
Setelah itu, aku pulang sendiri. Manis sudah menunjukkan jalannya, jadi enggak ada drama tersesat segala. Tapi, perut dan dadaku bergelut enggak karuan. Rasanya seperti diaduk-aduk dan getarannya kuat sekali. Aku sempat terseok-seok dan menabrak tiang yang enggak berdosa. Bunyi 'ting' pun muncul hingga aku tersangkut di atap jemuran Papa.
Seenggaknya aku sampai rumah, kan.
Sejauh pengalamanku menjadi kucing imut yang dirawat sepenuh hati, baru ini aku terjebak nasib apes, dua kali lagi. Memori celupan Papa ke bak mandi saja belum hilang, ini sudah ketambahan aroma kaki tikus comberan. Oh, God, Chuchu harus apa? Minimal kurangilah sensasi melilit ini.
"Meow!"
Doa yang kupanjatkan serasa enggak ada gunanya. Papa kebiasaan banyak omong, tapi kurang aksi. Dia enggak pernah tepat waktu. Kata 'sebentar' mungkin bisa berarti selamanya, untuknya. Aku lelah. Lebih baik tidur saja, sembari menunggu Papa menemukanku di sini.
Aku yakin Papa akan mencariku sampai ketemu. Entah karena tebusan adopsi, janjinya pada Tante Za, atau karena telah menyayangiku.
Harapannya, sih, yang ketiga.
"Chu?"
Belaian lembut di punggung membuatku tersadar. Papa di sana. Papa benar-benar ada di depanku, tersenyum tipis dan menatap lekat. Akhirnya.
"Meow!"
Rasanya masih seperti ditonjok berkali-kali. Agak menggelitik, tapi enggak seperih tadi. Sepertinya dokter cantik di sampingku ini telah memberikan obat dan vitamin. Aku bisa menggerakkan tangan dan kaki, meski masih lemas dan malas--biarkan aku berbaring dulu. Papa enggak berhenti mengusapku. Mata dan hidungnya merah. Pipinya pun basah. Suaranya ... agak serak. Dia kenapa?
"Salah makan, Mas. Udah nggak apa-apa, kok. Untungnya nggak parah, jadi bisa langsung pulang."
"Salah makan? Tapi makanannya nggak saya ganti kok, Dok. Kalau emang karena itu, kenapa baru sekarang sakitnya? Apa nggak gara-gara saya mandiin tadi? Dokter salah periksa mungkin."
Meow! Papa mungkin bodoh, tapi enggak seharusnya sebodoh ini, dong. Aku enggak akan sakit hanya karena tercebur ke ember air dingin. Bisa masuk angin sedikit, tapi enggak separah ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
Narrativa generaleEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...