Net | bukan rahasia

183 55 3
                                    

Baru dua jam dimulai, mendung Jakarta enggak bisa diajak kompromi. Acara outdoor yang cuma bermodalkan kumpulan payung pelangi--cukup lebar, tapi mudah goyah--itu terancam sepi lagi. Belum hujan saja yang datang hanya segelintir orang, menanyakan diskon produk yang ternyata enggak jauh-jauh amat, apalagi kalau keadaannya sudah amat berangin seperti ini. Tinggal menghitung waktu untuk gulung tenda.

Net pun mematikan kameranya dan melipir ke stand paling ujung, milik operator tim event. Ia lekas duduk, lalu menyeka keringatnya yang deras enggak karuan--efek terlalu lama berdiri dan mondar-mandir.

"Kalau hujan, pindah ke dalam atau gimana, Bang?" tanyanya pada Bret, koordinator mereka.

"Nggak bisa, Net. Udah ada yang booking."

"Terus? Kan masih panjang rundown-nya."

Lelaki berbadan kekar bak model iklan suplemen protein itu bangkit dan mengecek warna langit. Ia mendengkus, lalu menendang kursi plastik di sampingnya. Net yang notabene mudah kaget pun tersentak hingga mengelus dada berulang kali. Degup jantungnya mulai enggak normal dan butuh kesabaran dalam mengaturnya. Sungguh nasib.

"Mau nggak mau harus cancel."

Belum sampai tenang, Net malah nge-gas lagi--saking syoknya. "Lah, sayang di guest star-nya dong, Bang. Kan kita udah bayar. Mana rate card yang dikasih kemarin, gue cek nggak ada yang murah."

"Ya mau gimana lagi?" Bret bersedekap, lalu menyilangkan kaki. "Dari awal kontrak, manajernya udah ngasih saran buat nggak ngadain di luar, tapi waktu itu di dalam mal udah penuh. Gue dan anak-anak ambil risiko aja. Ini nggak bisa di-refund juga. Lagian kalau mundur harus nentuin jadwal baru, biar sesuai sama waktu dia. Cukup jadiin pelajaran aja, lah."

"Tapi, dari atasan--"

"Masalah evaluasi entar urusan gue, selaku pemimpin di sini. Lo nggak usah khawatir. Jatah lembur tetep gue bayar, kok. Jangan lupa entar sekalian naikin beritanya ke website, ya."

Net tersenyum tipis, lalu mengangguk. Bret tahu saja apa yang ia maksud. "Makasih, Bang. Itu perkara gampang, kan udah tugas gue. Nanti lo bisa cek dulu kalau mau."

"Oke."

Setelah percakapan itu selesai dan Bret melanjutkan visit-nya ke stand brand-brand lokal, hujan turun sangat deras dan makin menjadi-jadi. Awan berubah jadi putih abu-abu dan jarak pandang jalanan tertutupi bayangan semu sekumpulan air. Net sontak bergidik saat hawa dingin dari semilir angin mulai menusuk kulit, menembus jaket tebalnya.

Lelaki itu refleks buru-buru berdiri ketika belasan gadis--para pembeli--mengungsi ke tempatnya, yang kebetulan paling kokoh di antara tenda lain. Ia terus mundur hingga menabrak speaker setinggi bahu yang sedang absen memutar lagu--makanya enggak sadar kalau ada di sana. Shit, sakit, umpat Net dalam hati, terlebih kawanan di depannya ini masih saja saling dorong sampai ia hampir terjepit seperti tikus got.

Ponsel di kantong celana nyatanya enggak membantu sama sekali. Sudah tahu desak-desakan malah heboh bergetar terus-terusan. Net enggak tahan. Ia yang semula mau menghilang sampai nanti sore itu lekas membuka kunci dan membaca SMS yang masuk.

Hanya ada dua kemungkinan kalau bukan media sosialnya yang ramai pengunjung:
1. Operator SIM Card sedang menawarkan paket internet paling terbaru yang sangat menggiurkan.
2. Peringatan dari orang-orang penting, seperti pemilik kontrakan, penagih pinjaman online, dan ….

Dokter Pras. Lagi-lagi dia. Net spontan menepuk jidat, lalu mengusap wajahnya gusar. Ia langsung menghubungi lelaki paruh baya itu sebelum mendapat berbagai macam ancaman yang enggak-enggak.

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang