Chuchu | terima kasih Papa

226 45 14
                                    

Aku terus berlari melewati persimpangan dan gang-gang sempit. Sempat sekali tiang listrik muncul tiba-tiba di depan mata--akunya saja yang kurang fokus--sampai kakiku tersangkut dan membentur tempelan poster sedot WC. Sungguh luar biasa sensasinya. Kepalaku nyut-nyutan enggak karuan, bahkan burung-burung kecil seperti berkeliaran di atas tubuh. Kesadaranku baru pulih saat anjing kurang kerjaan dari belakang sana makin dekat.

"Meow!"

Giginya berhasil menangkap kaki belakangku, sebelah kiri. Dia menarik dan mengoyaknya sembarangan. Mau sekuat apa pun tanganku memegang batu besar di tanah, tenaganya masih menang jauh. Aku terseret beberapa meter sampai kembali ke pertigaan depan. Dengan ganas dia membantingku hingga menabrak tong sampah kosong. Bunyi klontang-klontang sontak mengisi keheningan tempat ini. Sungguh, salahku apa, sih? Dasar makhluk bertaring enggak jelas!

"Guk!"

Aku langsung tunggang langgang pergi dari sana sebelum diapa-apakan lagi. Anjing itu hanya menyalak, lalu berhenti mengejarku. Syukurlah, mungkin dia sudah bosan, atau sadar kalau lawannya ini bukan tandingan yang pantas. Lagian enggak ada alasan juga tetap mengerjaiku seperti itu. Aku hanya berjalan anggun mencari Papa, menyenggol dia saja enggak sama sekali. Dia enggak sedang salah sasaran, kan? Kalau iya, kenapa nasibku seburuk itu? Aku enggak sedang menyumpahi Papa macam-macam, jadi ini bukan karma.

Tapi, jujur sakit, meow!

Langkahku terseok-seok saat berhasil melewati belokan poskamling. Bagian belakang dan depan kakiku terus mengucurkan darah yang baunya amat memabukkan. Baru pertama kali ini aku menciumnya. Semua gara-gara gigitan dan hempasan si Bahrudin tadi--nama samaran. Sial, memang.

"Me-ow …."

Nyawaku sisa tujuh. Satu hilang karena memakan tikus got, satu lagi karena digigit anjing. Ayolah, Chu, kenapa enggak ada yang keren sedikit? Aku pun mengeong lagi, meskipun pos reyot dan enggak berpenghuni ini benar-benar sepi sekali. Yah, masih berharap ada sesama kucing yang melintas, lah, syukur-syukur kalau mengenalku atau minimal mengenal Manis, jadi bisa menyampaikan pesan terakhir untuknya--berjaga saja kalau-kalau jatah selamat ini sudah expired. Sayangnya, yang kudengar hanya semilir angin dan kasak-kusuk benturan kerikil. Hujan yang datang juga makin menjadi-jadi.

"Chu? Meow!"

Telingaku berdengung. Sekujur tubuh rasanya seperti diberi akupuntur--jarum Bu Dokter saja kalah. Sensasi di dalam juga enggak enak, kayak pas mbak-mbak pet shop mengeringkan bulu-buluku dengan hair dryer. Panas, woy! Aku enggak tahan sampai terbatuk-batuk. Suaraku makin hilang entah digadai ke mana. Mungkin, ini sebabnya aku berhalusinasi tentang Manis. Sosoknya kini berlari dan menyenggol bahuku kuat-kuat.

Tunggu, ini bukan mimpi?

"Kamu kenapa bisa begini?"

"Ma-nis?"

"Iya, ini aku. Tunggu, ya. Aku pergi ke rumahmu dulu."

"Untuk apa?" tanyaku lirih.

"Ngasih tau papamu, lah."

"Di-dia masih di rumah sakit, meow."

Manis mengerang. "Aku akan menengoknya ke sana, kalau enggak ada, baru kucari ke mana pun itu."

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang