Meski tampangnya enggak terselamatkan dan ada saja yang bertanya 'lo kenapa', Net tetap masuk kerja. Pertama, ia enggak sudi dianggap membolos--karena jatah cuti terhitung kemarin--lalu gajinya terpotong. Kedua, tenggat suntingannya makin dekat dan tagihan Leona amat mencekik. Ketiga, ilustrasi yang disetor dua hari lalu perlu direvisi dan Net enggak pengin mengacaukan itu. Ah, andai perangkat desain yang dipakai ada di rumah, enggak menetap di kantor seperti ini, ia pasti mempertimbangkan pilihan terakhir dan memilih berbaring bersama Chuchu di ruang tengah.
"Masih hidup kau, Net?"
"Punya nyali lo nanya gitu, Bang?"
"Waduh, hidup betulan rupanya."
Ck, Net geleng-geleng. Ia lekas memakai headset-nya lagi, padahal enggak ada lagu yang diputar. Ponselnya di-charge dan ia paling malas menyentuhnya kalau sedang begitu. Selain super-lemot, bodinya yang panas juga kurang mengenakkan. Enggak masalah, toh tujuannya cuma untuk menghindari celotehan rekan editor, yang kadar ingin tahunya melebihi mbak-mbak gosip di acara entertainment.
"Kemarin warnanya minta pastel, giliran udah clear malah ke emas elegan gini. Jauh banget, woy, Maemunah!" gerutu Net sendirian. Sungguh, enggak ada siapa pun yang memiliki nama itu di sini.
Net juga enggak kenal. Asal bunyi doang.
Lelaki itu mengacak rambut sambil mengotak-atik catatan karakter sesuai permintaan klien. Namanya juga freelancer, batinnya, kalau enggak gini enggak dapat duit. Ia sudah menerima modal di awal dan kurang pelunasan saja saat desain selesai, jadi enggak ada alasan untuk mengeluh ini-itu hanya karena revisi tiga hal: warna, detail objek, dan penempatan.
Cuma tiga, tekan Net menyabarkan diri.
Artikel terbaru dari tim event dan produk masih dikesampingkan lebih dulu. Tunggu, seenggaknya sampai email ini sampai ke seberang dan ia bisa menyulap tangan menjadi dua bagian--makin syukur kalau otaknya ikut juga. Net masih sempat mencari referensi color grading di internet untuk sekadar brainstorming, walau hasilnya enggak bagus-bagus amat sampai ia kembali lagi ke pilihan awal--rose gold dan a lil bit of sparkling silver. Sangat kelas.
Fokusnya pun terusik saat ponsel di atas speaker--diletakkan di sana karena dekat stopkontak--terus bergetar dan sangat mengganggu. Net langsung mengangkatnya tanpa melihat nama yang tertera pada layar. Sontak matanya terbelalak dan ia menjauhkan benda itu saat dibentak enggak karuan.
"Santai, Mbak." Hanya itu yang ia ucapkan setelah diteriaki 'kapan bayar' sebanyak tiga kali.
"Udah molor tiga hari lho, Net."
"Baru juga tiga hari, Mbak. Biasanya malah sampai semingguan, kan."
"Oh, lo rencanain, nih?"
Net refleks tertawa kecil dan menata duduknya. "Enggak gitu, tapi udah kebiasaan. Deadline-nya jadi geser, deh."
"Bener-bener lu, ye."
"Sabar dikit lagi, lah. Minggu gue transfer, kok. Tunggu fee cover ini turun dulu."
"Yakin? Entar pas udah bilang ke Ibu, lo nunggak lagi. Gue yang dimarahin."
"Tenang aja, ini mau kelar, kok. Lo jangan telpon mulu makanya."
"Ck, orang ngutang ditagih, kok, malah nyolot."
Lelaki yang menerima telepon sambil mengerjakan desain itu masih bisa cengengesan. "Kan gue nggak ngutang, nyewa doang."
"Iya, nyewa tapi telat mulu bayarnya."
"Deadline-nya geser, Mbak," ralat Net kesekian kali.
"Serah lu, deh. Gue bilang ke Ibu apa adanya, ya? Jangan kabur lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...