Net bersumpah kalau tiba-tiba ketiban duit dari langit, ia akan membeli sepuluh jebakan tikus dan menaruhnya dalam kotak kado, lalu mengirim ke meja Tori dengan cantik. Saat dibuka, jackpot jepitan itu akan melukai sang musuh hingga enggak berkutik lagi. Bodo amat, yang penting kelakuan genitnya bisa diminimalisir. Sayang, semua itu berakhir sejak kata 'andai' mengiringi harapannya. Net hanya bisa mendengkus dan mengunyah nasi, malas. Setiap mendengar celotehan Tori yang ada-ada saja, rasa ingin menelannya hidup-hidup juga makin tinggi. Sial!
Sedari kuliah dulu, Net memang sudah hafal bahwa lelaki itu paling pandai basa-basi. Ia lumayan tampan, agak bermodal, aktif di kelas dan organisasi, serta terkenal akrab dengan seluruh gadis dari ujung ke ujung fakultas, termasuk Jan--mami Chuchu. Enggak bisa dipungkiri, Tori-lah yang berhubungan dengan gadis itu lebih dulu dan ia mendapat ampasnya. Tapi, Net bersumpah (lagi), permainannya bersih. Ia enggak menusuk dari belakang sama sekali. Beda dengan Tori yang amat berani balikan semasa Jan masih bersama dirinya--alias selingkuh. Ia bakal terus mengingatnya.
Lalu, sekarang, dengan pede makhluk berambut tebal di sekitar kaki dan dagu itu mau mendekati calon gebetannya? Lagi? Tuhan, Net memutar bola matanya.
"Kalian saling kenal sejak kapan?"
Ais sontak menoleh ke arah Net, sedangkan lelaki itu malah memalingkan muka, sibuk meminum teh tawar favoritnya. Ia malas menjawab. Berbagi informasi pada spesies ubur-ubur sejenis Tori enggak ada gunanya. Justru, bisa-bisa hal itu dimanfaatkan untuk yang enggak-enggak. Kan, bahaya. Tapi, Ais mana tahu apa pun? Dengan polos ia menjawabnya saja, sangat detail pula. Dari meeting anak magang sampai proyek event bareng. Hah, mau meledek apa lagi lelaki itu? batin Net seraya menatap Tori.
"Udah lama juga, ya. Berarti deket."
"Em, lumayan," jawab Ais hati-hati. Ia menggigit bibir dan melirik Net yang tetap menutup mulut.
"Pacaran?"
"Hah?"
Net terkesiap saat Ais berseru sampai hampir tersedak. Ia lekas menarik beberapa helai tisu dan memberikannya pada gadis di sampingnya itu. Tori langsung meminta maaf dan melakukan hal yang sama. Tapi, Ais memilih menerima uluran Net dan mengatakan 'baik-baik saja'. Sip, satu kosong, Net berteriak dalam hati. Begitu saja sudah puas. Hidupnya memang sederhana.
"Belum kok," balas Net, mengambil alih pertanyaan yang ditujukan pada Ais.
"Oh," Tori manggut-manggut sambil tersenyum tipis, "cepetan, deh. Entar keburu diambil orang, lho."
"Dia bukan barang dan nggak bakal jadi hak milik gue juga kalaupun jadian. Jadi, gue nggak takut." Net menjawab seolah-olah si gadis yang dijadikan bahan gosip sedang absen dari sana.
Tori terkikih-kikih. "Iya ya, lupa. Ini kan Net, cowok soft dan si paling maklum."
Ais refleks menggaruk tengkuknya. Ia celingak-celinguk, mencari celah untuk enyah. Tapi, belum apa-apa, justru Net yang berdiri dan beranjak pamit. Enggak mau kikuk sendirian--berdua dengan Tori, ia pun ikut pergi dan melambaikan tangan kecil sebagai salam perpisahan. Mereka berjalan menuju tempat tumpuk piring--untuk dicuci--tanpa berkata sepatah kata pun.
"Net--"
"Sori kalau lo nggak nyaman," potong sang empunya nama itu cepat.
"Nggak kok, cuma aneh aja. Kalian ada masalah sebelumnya?"
Net mengangguk tipis sambil mencuci tangan. "Iya, tapi gue nggak bisa cerita."
"It's ok, nggak apa-apa, kok." Ais makin salah tingkah. "Kalau gitu, gue cabut dulu."
"Oke."
Sungguh hari yang melelahkan, padahal masih pagi. Net sontak mengacak rambutnya, lalu bergegas ke ruang redaksi. Jam kerja sudah dimulai dan ia memiliki segudang edit-an yang belum dikerjakan. Cukup memikirkan dan mengerjakan itu sudah membuatnya mual muntah, enggak perlu ditambah apa-apa lagi. Nyatanya memiliki intern baru enggak membantu sama sekali. Tori, sih, coba yang lain pasti sudah dimanfaatkan.
"Hei, Net!"
Momen panggilan yang enggak bisa ditolak datang lagi. Net spontan tersenyum lebar--agak dipaksa. "Eh, Bang Bret. Ada apa, Bang?"
"Bantuin gue bawa barang dari bawah, yuk. Banyak PR package dari beberapa brand. Satpam lagi pada sarapan."
Sebenarnya, Net bisa menjawab 'menunggu mereka selesai makan saja' atau 'minta tolong tim konten biar sekalian', tapi mulutnya cuma bisa merespons:
"Oke, Bang."
Lelaki itu pasrah saat harus turun, lalu naik lagi bersama dua kotak sebesar kardus mi instan. Enggak tanggung-tanggung, ia bolak-balik dua kali karena ternyata Bret izin ke toko sebelah untuk membeli sesuatu. Sial sekali. Meski begitu, sang senior tetap berterima kasih dan membayar bantuannya dengan segelas kopi dingin. Sangat klasik.
Tapi, itu semua enggak lantas membuat napas Net bisa teratur, atau minimal mengembalikan keringat dinginnya yang membasahi kemeja. Nyeri di dada ditambah degupan enggak normal makin menjadi-jadi sampai memegang gelas kemasan saja amat gemetaran. Kalau Net juga meminum kafein ini, tamat sudah riwayatnya.
Ia pun kembali ke meja kerjanya, mengambil botol obat dan membawa ke kamar mandi. Net berjalan santai, meski sesekali memegangi dinding dan sekat kursi. Setiap ada karyawan divisi lain yang menyapa, ia hanya tersenyum manis alih-alih berbicara. Menarik napas saja susah, apalagi itu.
Sesampai di dalam toilet laki-laki, ia langsung mengeluarkan beberapa pil dari botol dan meminumnya tanpa bantuan air. Net segera mencuci muka dan membasahi rambutnya. Raut pucat yang memiliki kantung hitam di bawah mata itu sungguh mengenaskan, butuh sedikit huru-hara agar hidupnya berwarna. Chuchu, misal. Ia tiba-tiba mengingat anak bulunya itu.
"Udah diganti masih juga ngeselin lo," gerutunya sambil menunjuk dada dalam pantulan kaca. "Jangan nyusahin, lah."
Sekali lagi, Net membasuh wajahnya. Ia juga menghela napas, kemudian mendongak dengan mata terpejam. Ia harus tenang. Emosi berlebihan hanya akan mengundang gejolak perang dunia dalam jantungnya. Meski musuh terbesarnya dalam tiga tahun terakhir lebih ke bakteri dan virus, entah mengapa beberapa minggu ini sensasi linu juga mendominasi. Rasanya seperti tengah ditusuk-tusuk. Ia juga mudah lelah dan kesulitan beraktivitas.
"Apa periksa aja, ya?"
Sebuah keajaiban muncul. Jarang-jarang Net memikirkan hal selain pelunasan kontrakan dan segelintir utangnya--ditambah Chuchu. Ia lekas mengambil ponsel dan mengecek saldo rekening. Sudah diduga, pikirnya, jumlah digit yang berjajar sangat disayangkan kalau dipakai berkunjung ke dokter langganan mendiang ibunya itu. Ia pun memasukkannya lagi.
"Lo kenapa?"
Net tersentak dan sontak mengusap dada saat Tori tiba-tiba keluar dari salah satu bilik. Sunyi di sekitar situ membuatnya berpikir tengah sendirian selama ini.
"Nggak apa-apa."
Dengan santai, Tori menuju ke wastafel tepat di sebelah Net. Ia memandangi kawan sekampusnya--dulu--itu dari bawah hingga atas, sedangkan yang bersangkutan ikut-ikutan menyalakan keran--padahal enggak berniat berbuat macam-macam.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Tori lagi setelah melihat lelaki di sampingnya pucat sekali.
"Iya."
"Bentar!"
Karena tangannya ditahan, Net pun berhenti. "Kenapa?"
"Lo sakit lagi, ya?"
"Bukan urusan lo."
Tori lekas melepaskan genggamannya usai ditatap sinis. "Oke, sori. Misal ada apa-apa, gue di sini."
"Makasih, tapi gue nggak butuh."
"Fine, jangan mati dua kali kalau gitu."
Net melirik sekilas. Ia enggak berbalik sama sekali. Tentu ia benar-benar tahu apa yang dimaksud lelaki itu. Tapi, dibanding menanggapi, ia lebih baik pergi dan memastikannya sendiri nanti.
_____
DAY 31
1 Desember 20221113 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...